New York – Presiden Palestina Mahmoud Abbas dipastikan tidak dapat menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada September mendatang. Hal ini menyusul keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menolak permohonan visa Abbas beserta sekitar 80 pejabat Palestina lainnya.
Keputusan tersebut menimbulkan kritik internasional karena dianggap melanggar perjanjian antara AS dan PBB. Sebagai tuan rumah, AS seharusnya tidak boleh menolak akses pejabat negara anggota atau pengamat yang akan menghadiri sidang resmi lembaga dunia tersebut.
Pelarangan ini menjadi pukulan berat bagi Palestina, terutama saat beberapa negara Eropa tengah bersiap menyatakan pengakuan kedaulatan Palestina. Prancis, Kanada, dan Australia sudah menyatakan sikap mendukung Palestina sebagai negara berdaulat, sementara Inggris menegaskan akan mempertimbangkan langkah serupa bila Israel tidak menyetujui gencatan senjata di Gaza.
Sementara itu, Israel menolak keras pengakuan terhadap Palestina. Pemerintah Israel menyamakan Otoritas Palestina di Tepi Barat dengan Hamas di Gaza. Posisi ini mendapat dukungan penuh dari AS yang menilai langkah pengakuan negara Palestina sebagai “hadiah” untuk Hamas.
Situasi ini memperburuk penderitaan rakyat Palestina yang sejak Oktober 2023 terus mengalami agresi militer Israel di Gaza. Data terbaru menunjukkan lebih dari 60.933 warga Palestina tewas, sementara 150.027 lainnya terluka. Para ahli menilai kondisi tersebut sebagai bentuk genosida, dengan catatan memilukan bahwa setiap jam satu anak Palestina meninggal akibat konflik.
Selain jatuhnya korban jiwa, blokade Israel membuat kondisi kemanusiaan semakin memburuk. Sejak 2 Maret lalu, Israel hanya mengizinkan 86 truk bantuan masuk setiap hari, padahal kebutuhan minimal mencapai 600 truk. Kekurangan bantuan ini menyebabkan kelaparan ekstrem dan memperburuk krisis kesehatan di Gaza.
Lebih dari 150 organisasi kemanusiaan serta sejumlah ahli PBB menyerukan gencatan senjata permanen untuk menghentikan kekerasan dan membuka jalur distribusi bantuan. Mereka memperingatkan kemungkinan lahirnya “generasi yang hilang” jika kondisi brutal ini terus berlangsung.
Absennya Mahmoud Abbas dalam Sidang Umum PBB dipandang sebagai kehilangan kesempatan penting bagi Palestina untuk menyuarakan langsung penderitaan rakyatnya di forum internasional. Namun, para pendukung Palestina menegaskan bahwa perlawanan diplomatik akan tetap berlanjut, meski akses ke forum global kini makin dipersempit.