Usulan Presiden Prabowo Subianto untuk melatih narapidana produktif menjadi petani dan anggota komponen cadangan (Komcad) memunculkan harapan baru. Langkah ini tidak hanya bertujuan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas), tetapi juga memberi ruang bagi narapidana untuk berkontribusi positif bagi bangsa.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, usulan ini mencakup pelibatan napi usia produktif dalam kegiatan swasembada pangan dan pelatihan sebagai Komcad. Program ini sejalan dengan visi pemerintah untuk memperkuat ketahanan nasional dan meningkatkan produktivitas sektor pangan, yang menjadi prioritas strategis Presiden Prabowo.
Namun, di balik ambisi besar ini, ada tantangan signifikan. Dari aspek sosial, stigma terhadap narapidana masih menjadi hambatan utama dalam proses reintegrasi ke masyarakat. Meskipun pelatihan berbasis produktivitas menawarkan manfaat rehabilitasi, apakah masyarakat siap menerima para napi sebagai bagian aktif dalam ekosistem pertanian atau pertahanan?
Secara hukum, langkah ini menjadi bagian dari kebijakan pemberian amnesti terhadap puluhan ribu napi. Kategori penerima amnesti mencakup pelanggar Undang-Undang ITE, penderita gangguan jiwa, dan aktivis Papua non-kombatan. Namun, proses seleksi yang adil dan transparan tetap menjadi prasyarat penting untuk memastikan kepercayaan publik terhadap kebijakan ini.
Dari perspektif ekonomi, keterlibatan napi dalam sektor pertanian dapat memberikan keuntungan ganda. Selain membantu mengatasi masalah pangan nasional, program ini membuka peluang bagi para napi untuk memiliki keterampilan baru yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini juga dapat mendorong pengurangan angka residivisme, mengingat salah satu penyebab utama pengulangan tindak pidana adalah keterbatasan akses terhadap pekerjaan layak pasca-penahanan.
Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur pelatihan. Ketua Lembaga Kajian Pertahanan Nasional, Yusril Ihza Mahendra, menekankan perlunya desain program yang matang. Pelatihan harus dirancang untuk mencakup tidak hanya keterampilan teknis tetapi juga pembinaan mental dan sosial, sehingga napi mampu beradaptasi dengan baik setelah bebas.
Dari sisi pertahanan, usulan melibatkan napi sebagai bagian dari Komcad dapat menimbulkan perdebatan. Meskipun ide ini sejalan dengan strategi memperluas basis pertahanan sipil, ada pertanyaan tentang keamanan dan kredibilitas mantan napi dalam menjalankan tugas pertahanan. Mekanisme pengawasan yang ketat menjadi syarat mutlak agar inisiatif ini tidak menimbulkan risiko baru bagi stabilitas keamanan.
Keberhasilan program ini juga bergantung pada literasi masyarakat terkait rehabilitasi napi. Tanpa dukungan masyarakat yang memahami pentingnya memberi kesempatan kedua, stigma negatif akan terus membayangi para napi meskipun mereka telah menjalani pelatihan dan pembinaan.
Dalam skala besar, usulan ini mencerminkan langkah progresif untuk memanfaatkan sumber daya manusia yang selama ini terabaikan. Narapidana yang dilatih dengan keterampilan produktif tidak hanya memiliki kesempatan kedua tetapi juga menjadi agen perubahan di komunitas mereka.
Sebagai bangsa, sudah saatnya kita berpikir melampaui batasan tradisional. Mengintegrasikan napi ke dalam program produktivitas nasional tidak hanya memberi mereka tujuan baru, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan ketahanan nasional.