Asosiasi pedagang kelontong di Indonesia menyatakan kesiapan mereka untuk mendukung upaya edukasi dalam membatasi konsumsi rokok pada anak muda. Salah satu langkah konkret yang akan dilakukan adalah pemasangan stiker larangan penjualan rokok kepada individu di bawah usia 21 tahun.
Upaya ini dipilih sebagai alternatif dibandingkan dorongan penyusunan aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang mencakup wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Pedagang menilai bahwa stiker larangan lebih efektif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat luas, terutama untuk menekan angka perokok pemula.
Ketua Umum Perkumpulan Pedagang Kelontong Seluruh Indonesia (Perpeksi), Junaedi, menegaskan bahwa pendekatan edukasi lebih bijak dibandingkan kebijakan pembatasan ketat yang dapat merugikan usaha kecil.
“Saya setuju bahwa anak di bawah 21 tahun tidak boleh merokok. Namun, untuk mereka yang sudah dewasa, itu adalah hak mereka untuk memilih,” kata Junaedi.
Ia juga mengkritik aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak, yang dinilai tidak mempertimbangkan kondisi para pedagang yang sudah lama berjualan di wilayah tersebut. Banyak warung kelontong yang menggantungkan 60% pendapatan mereka dari penjualan rokok, sehingga kebijakan ini dapat berdampak serius pada ekonomi masyarakat kecil.
Menurutnya, kebijakan seperti ini menunjukkan standar ganda dalam industri hasil tembakau (IHT). Di satu sisi, cukai rokok terus menjadi sumber pendapatan besar bagi negara, tetapi di sisi lain, industri ini terus mendapat tekanan dengan berbagai regulasi yang membatasi penjualan dan distribusinya.
Junaedi menilai bahwa pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), harus lebih banyak melakukan dialog dengan para pelaku industri dan pedagang kecil sebelum mengeluarkan regulasi baru. Hal ini penting agar kebijakan yang dihasilkan lebih seimbang dan tidak merugikan salah satu pihak.
Pihaknya juga telah menyampaikan aspirasi ini dalam forum “Diskusi Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau” yang digelar bersama Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya. Namun, hingga saat ini, ia masih skeptis bahwa Kemenkes akan benar-benar mempertimbangkan masukan dari para pedagang dan pelaku usaha kecil.
“Jika Kemenkes tetap memaksakan aturan ini tanpa dialog yang adil, kami siap turun ke jalan untuk menyuarakan keberatan,” tegasnya.
Dukungan terhadap pemasangan stiker larangan penjualan rokok ke anak di bawah 21 tahun menunjukkan bahwa pedagang tidak menentang upaya pengendalian tembakau. Namun, mereka berharap bahwa kebijakan yang diambil tetap berpihak pada keadilan bagi usaha kecil yang selama ini menjadi bagian dari mata rantai industri tersebut.