Kegaduhan baru muncul kembali. Tapi kali ini bukan datang dari oposisi, bukan dari rakyat yang marah-marah, melainkan dari seorang mantan presiden yang merasa terusik.
Joko Widodo—yang kini secara resmi adalah mantan Presiden RI—merespons pertanyaan publik soal keaslian ijazahnya dengan cara yang defensif. Ia mengklaim tak punya kewajiban untuk menunjukkan ijazah.
Padahal, yang dipersoalkan rakyat bukan karena benci, tapi karena ingin tahu. Karena dalam demokrasi, kejujuran pejabat publik—apalagi mantan kepala negara—adalah bagian dari akuntabilitas.
Pertanyaan publik sederhana. Jika memang ijazah itu asli, kenapa tidak ditunjukkan saja secara terbuka?
Namun yang muncul justru ancaman hukum.
Kuasa hukum mantan presiden mengancam akan menempuh jalur pidana bagi siapa pun yang dianggap menyebarkan hoaks soal ijazah.
Ini aneh.
Sebab jika memang ijazah itu sah, mestinya sangat mudah dibuktikan. Tapi kini, rakyat justru yang ditekan.
Beberapa orang sudah dijatuhi hukuman penjara. Tapi publik tidak bodoh. Mereka menyaksikan bagaimana pernyataan tentang dosen pembimbing skripsi berubah-ubah, bagaimana foto ijazah mencurigakan tersebar tanpa konfirmasi otentik yang kuat.
Dan jangan lupa, pihak kampus pun pernah menyatakan ijazah itu “hilang.” Lalu belakangan disebut ada dan siap ditunjukkan di pengadilan.
Bingung? Tentu.
Tapi justru karena itulah, publik semakin curiga. Dan siapa yang memancing kecurigaan itu? Ya, si mantan presiden sendiri.
Ia yang awalnya menyebut nama dosen pembimbing yang ternyata bukan tercantum dalam skripsi. Ia yang memicu publik melakukan verifikasi mandiri karena negara dan lembaga tak kunjung memberi kejelasan.
Tapi alih-alih memberi jawaban, yang muncul adalah ancaman.
Bahkan, sosok seperti Hercules tiba-tiba muncul di tengah isu ini. Bukan sebagai pengacara, bukan juga pejabat. Tapi tampil seolah menjadi pembela setia.
Mengapa harus ada simbol kekuasaan informal ikut nimbrung dalam urusan keabsahan ijazah?
Pertanyaan yang sah, dibalas dengan intimidasi.
Ini bukan demokrasi. Ini adalah bentuk baru otoritarianisme yang tumbuh dari trauma kehilangan kekuasaan.
Mantan presiden seharusnya menjadi teladan, bukan penyulut ketakutan.
Rakyat punya hak bertanya. Karena Jokowi, dulunya, bukan siapa-siapa. Ia menjadi walikota, gubernur, lalu presiden—semuanya lewat proses administratif yang mensyaratkan ijazah.
Jika ternyata ada masalah pada dokumen itu, maka seluruh proses kekuasaannya berpotensi batal demi hukum.
Ini bukan soal kebencian. Ini soal tanggung jawab moral dan hukum.
Apalagi kini dia sudah tidak menjabat. Sebagai warga negara biasa—yang kebetulan mantan presiden—ia tetap harus tunduk pada asas keterbukaan informasi publik.
Dan jika betul ada pemalsuan, maka bukan hanya dia yang harus bertanggung jawab.
KPU Solo, KPU pusat di 2014 dan 2019, serta partai pengusungnya bisa ikut terseret. Karena jika sebuah kebohongan diproses melalui jalur resmi, maka itu menjadi konspirasi politik dan kriminal.
Sayangnya, aparat penegak hukum masih diam. Padahal, bukti-bukti digital terus bermunculan.
Rakyat tidak akan diam.
Jika dulu mereka diam karena takut, kini justru semakin banyak yang berbicara. Karena yang dibungkam, biasanya akan meledak lebih keras.
Ketika negara tidak memberi kejelasan, masyarakat akan mencari kebenaran dengan caranya sendiri. Dan itu sah, selama masih dalam koridor hukum dan akal sehat.
Mantan presiden seharusnya tidak bersikap seperti pemilik negara. Apalagi mengancam warganya yang sah, hanya karena bertanya soal dokumen pendidikan.
Dokumen yang dulu dia pakai untuk mencalonkan diri. Yang dulu dia sodorkan ke lembaga negara.
Kini publik hanya meminta satu hal: verifikasi.
Tapi jika permintaan ini dibalas dengan amarah, maka jelas, bukan rakyat yang bikin gaduh. Tapi dia—mantan presiden—yang tak siap diperiksa sejarah.