Jakarta – Di tengah polemik usulan legalisasi kasino oleh DPR, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyuarakan pandangannya yang cukup berbeda. Melalui akun X miliknya, Susi menyatakan bahwa dampak dari kasino lebih terukur dibandingkan dengan judi online (judol) dan pinjaman online ilegal (pinjol) yang marak merusak masyarakat.
“Kasino jauh lebih terukur damage-nya. Judol dan pinjol harus dihentikan,” tulis Susi pada Rabu (14/5/2025).
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas usulan dari anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, yang mengusulkan legalisasi kasino sebagai salah satu sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Galih menyebut langkah serupa telah dilakukan oleh Uni Emirat Arab (UEA) dan Thailand.
“Mohon maaf, saya bukannya mau apa-apa, tapi UEA kemarin sudah mulai jalanin kasino. Maksudnya mereka out of the box dalam kebijakan fiskalnya,” ujar Galih saat rapat kerja dengan Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan di DPR, Kamis (8/5/2025).
Meski mendapat dukungan dari Susi Pudjiastuti, wacana ini tetap menuai banyak penolakan dari berbagai pihak. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH. Cholil Nafis, menegaskan bahwa melegalkan perjudian bertentangan dengan hukum dan norma masyarakat Indonesia. Ia menyerukan agar pemerintah mencari pendapatan dari sumber yang halal.
“Mari cari jalan yang baik untuk pendapatan negara dari yang halal agar Indonesia berkah,” tulis Cholil di X.
Berbagai reaksi dari warganet pun bermunculan. Beberapa akun bahkan menyampaikan kekhawatiran bahwa legalisasi judi bisa menjadi pintu masuk untuk kebijakan kontroversial lain seperti legalisasi prostitusi.
Akun @JendralKepitin9 menyebut legalisasi kasino tidak sesuai dengan budaya bangsa, sementara akun @DenasIdn1 menyatakan kekhawatirannya bahwa legalisasi ini bisa berkembang ke sektor lain yang merusak moral masyarakat.
Dinamika pro dan kontra ini memperlihatkan betapa sensitifnya isu legalisasi perjudian di Indonesia, negara yang memiliki dasar hukum dan etika berbasis nilai-nilai agama dan budaya.
Sementara sebagian kalangan menilai wacana ini sebagai langkah inovatif dalam mengejar pendapatan negara, mayoritas suara publik dan tokoh agama tetap menolaknya karena dinilai berpotensi merusak sendi moral bangsa.
