Di tengah serangan brutal Israel ke Gaza, Indonesia justru menjalin kerja sama strategis dengan BlackRock—raksasa investasi global yang terlibat dalam pendanaan industri militer Israel. Danantara, lembaga sovereign wealth fund yang dibentuk di era Prabowo Subianto, kini menggandeng BlackRock untuk membiayai proyek-proyek ambisius seperti IKN, transisi energi, dan infrastruktur digital.
Namun, keputusan ini sangat problematik. BlackRock memiliki saham besar di perusahaan-perusahaan senjata seperti Lockheed Martin, Raytheon (RTX), dan Northrop Grumman. Perusahaan-perusahaan ini dikenal luas sebagai pemasok utama senjata, sistem pertahanan, dan drone tempur yang digunakan militer Israel dalam agresi ke wilayah Palestina.
Lockheed Martin bahkan secara terbuka menyebut dirinya sebagai mitra strategis militer Israel sejak 1970. Mereka memasok pesawat F-16, F-35, dan rudal Hellfire. Sementara RTX adalah penyedia sistem Iron Dome dan bom presisi. Northrop Grumman turut menyumbang drone serta teknologi radar tempur yang digunakan dalam operasi militer Israel di wilayah pendudukan.
Kerja sama Danantara dengan BlackRock bukan sekadar langkah investasi, tetapi kompromi terang-terangan terhadap nilai dan komitmen moral Indonesia. Bagaimana mungkin negara yang mendukung kemerdekaan Palestina secara politik, justru membiayai mitra yang memperkuat mesin perang penjajahnya?
Yang lebih menyakitkan adalah fakta bahwa modal Danantara tidak turun dari langit. Uang yang dihimpun berasal dari kebijakan “efisiensi fiskal” yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Belanja negara dipangkas. Program-program rakyat dikurangi. Ribuan proyek lokal di daerah dibatalkan. Ratusan ribu pegawai dirumahkan lewat restrukturisasi BUMN. Dan jutaan rakyat mengalami lonjakan harga, penghapusan subsidi, dan kekurangan pasokan pangan sebagai dampak dari pengetatan anggaran negara demi menyiapkan modal Danantara.
Inilah pengkhianatan berlapis: rakyat lapar, pekerja kehilangan pekerjaan, dan anggaran sosial dipotong demi menciptakan dana investasi yang kemudian diberikan kepada mitra asing—yang keuntungannya sebagian berasal dari senjata yang membunuh anak-anak Palestina. Ini bukan sekadar salah urus. Ini adalah kebijakan yang kehilangan arah etik dan empati.
Danantara disebut-sebut sebagai proyek unggulan pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Lembaga ini didesain meniru model Temasek Singapura dan Khazanah Malaysia. Tapi semangatnya bukan lagi kedaulatan ekonomi—melainkan ekspansi kapital lewat logika pasar bebas. Dan sementara rakyat diminta bersabar menghadapi PHK dan krisis biaya hidup, elite justru membuka pintu bagi modal yang membiayai genosida.
Tragedi moral ini dipertajam oleh diamnya elite terhadap pertanyaan publik. Tidak ada audit independen. Tidak ada kajian etis. Tidak ada keterlibatan masyarakat sipil dalam menentukan mitra strategis negara. Transparansi hanyalah jargon. Di baliknya, keputusan dibuat di ruang tertutup—jauh dari kendali rakyat.
Dan kalau Indonesia tetap menjadikan BlackRock sebagai mitra utama, maka bukan tidak mungkin dana negara akan terseret dalam konflik yang lebih besar. Di banyak negara, perusahaan dan entitas yang terlibat dalam pembiayaan perang kini mulai diboikot atau dijatuhi sanksi. Reputasi Indonesia sebagai negara yang menjunjung HAM bisa runtuh hanya karena kehausan investasi.
Indonesia punya pilihan. Pemerintah bisa mengevaluasi ulang kerja sama Danantara–BlackRock dan membuka jalur ke mitra lain yang lebih etis. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, bahkan negara Islam seperti UEA, Qatar, dan Turki memiliki dana investasi besar yang tidak terlibat dalam industri militer penjajah.
Selain itu, harus ada reformasi dalam pengelolaan dana publik. Uang negara tidak boleh dihimpun dari pengorbanan rakyat kecil lalu diinvestasikan kepada kapital asing yang tak peduli pada penderitaan manusia. Danantara harus tunduk pada prinsip akuntabilitas publik dan etika global. Jika tidak, maka lembaga ini akan menjadi mesin kapitalisme predator, bukan solusi pembangunan.
Solidaritas terhadap Palestina tidak boleh tinggal slogan. Ia harus diterjemahkan dalam keberpihakan nyata, termasuk dalam kebijakan ekonomi. Jika negara ini membiarkan uang rakyat ikut menghidupi industri perang, maka kita semua bertanggung jawab atas darah yang tumpah di Gaza.
