New Delhi – Di tengah gegap gempita zaman digital, kecerdasan buatan (AI) mulai merambah ranah paling personal dan sakral manusia: keimanan. Dari kuil-kuil di India hingga gereja di Amerika, AI kini digunakan sebagai perantara spiritual, menampilkan wajah baru ibadah yang menantang batas antara kode dan keyakinan.
Fenomena ini terlihat dari kisah Vijay Meel, seorang pemuda di Rajasthan, India, yang beralih dari pemuka agama ke chatbot spiritual bernama GitaGPT saat mengalami krisis hidup. Dengan menyampaikan kutipan Bhagavad Gita, chatbot ini memberinya kelegaan batin, menjelma menjadi teman refleksi yang menggantikan peran guru spiritual.
“Ada kenyamanan yang tak saya duga ketika mendengar kata-kata itu, meski keluar dari layar,” ujar Vijay.
Fenomena spiritual digital ini merepresentasikan pergeseran besar dalam praktik beragama global. AI seperti GitaGPT, Text With Jesus, hingga QuranGPT menjangkau jutaan pengguna, bahkan melayani konsultasi religius dalam berbagai agama. Ini menandai tren baru di mana manusia mulai berinteraksi dengan ‘nabi digital’ sebagai sumber pencerahan.
Menurut antropolog Holly Walters dari Wellesley College, India menjadi semacam “laboratorium iman” modern. Walters menjelaskan bahwa dalam konteks alienasi masyarakat modern, chatbot religius menawarkan ruang privat yang mudah diakses dan tidak menghakimi.
“Dalam teologi Hindu, wujud fisik seperti patung dianggap sakral. Maka, tidak mengherankan jika masyarakat mulai menerima AI sebagai medium spiritual,” katanya.
Robot Krishna, chatbot Confucius, hingga gajah robot bernama Raman yang memimpin ritual di Kerala, menjadi bagian dari lanskap religius baru ini. Bahkan, pada ajang Maha Kumbh Mela 2025, asisten AI multibahasa disiapkan untuk membimbing jutaan peziarah.
Namun, tak sedikit yang menyoroti bahaya etisnya. Lyndon Drake, peneliti dari Universitas Oxford, memperingatkan soal “halusinasi AI” ketika chatbot memberikan jawaban ngawur namun meyakinkan. Dalam kasus GitaGPT, algoritma sempat menjustifikasi kekerasan atas nama dharma. Sementara bot ‘pastor digital’ Catholic Answers sempat menyarankan baptisan dengan Gatorade, menimbulkan kegaduhan besar.
“AI bisa tahu isi kitab, tapi tidak punya konteks moral atau pengalaman spiritual,” ujar Drake.
Kekhawatiran lain muncul dari kesenjangan literasi digital. Banyak pengguna yang tidak memahami bahwa jawaban AI bukan wahyu ilahi, melainkan hasil pengolahan data buatan manusia. Ini bisa menimbulkan anggapan sesat bahwa AI adalah suara Tuhan itu sendiri.
Meski begitu, era spiritualitas digital tampaknya tak terelakkan. AI menawarkan solusi bagi generasi muda yang mencari akses spiritual cepat dan personal, di tengah keterbatasan pemuka agama yang makin sulit dijangkau.
Ketika manusia mulai mencari Tuhan dalam pantulan layar dan suara algoritma, satu pertanyaan kian mengemuka: apakah iman masih butuh jiwa manusia, atau cukup lewat cloud server?
