Pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendesa PDTT) Yandri yang menyebut wartawan dan LSM sebagai “pengganggu kepala desa” menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa pihak yang seharusnya berperan dalam mengawasi penggunaan dana desa justru disudutkan? Lebih jauh, pernyataan ini memberi kesan seolah ada sesuatu yang perlu disembunyikan dari publik.
Sejak program dana desa bergulir pada 2015, pemerintah telah menggelontorkan lebih dari Rp600 triliun ke 74.961 desa di seluruh Indonesia. Dana ini seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi desa, serta meningkatkan kesejahteraan warga. Namun, laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sejak program ini dimulai, lebih dari 1.000 kepala desa terjerat kasus korupsi. Modusnya beragam, mulai dari proyek fiktif, penggelembungan harga, hingga penyelewengan dana bantuan sosial.
Dalam situasi seperti ini, keberadaan media dan LSM seharusnya menjadi elemen penting dalam pengawasan. Wartawan memiliki peran untuk mengungkap penyimpangan dan memastikan masyarakat tahu ke mana uang mereka digunakan. LSM berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah untuk memastikan kebijakan benar-benar berjalan sesuai kepentingan rakyat. Maka, ketika menteri desa justru menyebut mereka sebagai pengganggu, publik berhak curiga: apakah pengawasan ini benar-benar mengganggu atau justru mengungkap sesuatu yang tidak ingin diketahui?
Menyudutkan media dan LSM juga menimbulkan risiko serius dalam tata kelola pemerintahan. Transparansi bukan hanya sekadar jargon, tetapi prinsip fundamental dalam demokrasi. Jika pejabat publik mulai menganggap pengawasan sebagai masalah, itu berarti ada niat untuk membatasi akses informasi. Padahal, dalam UU Desa No. 6 Tahun 2014, kepala desa justru diwajibkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait pengelolaan dana desa.
Ironisnya, seruan Yandri untuk menindak wartawan dan LSM muncul di tengah upaya pemerintah memperketat pengawasan dana desa melalui kerja sama dengan kepolisian. Ini menciptakan kontradiksi yang sulit dijelaskan: di satu sisi pemerintah ingin dana desa diawasi, di sisi lain ingin membungkam pengawas independen. Jika pengawasan hanya boleh dilakukan oleh aparat negara, maka risiko konflik kepentingan semakin besar.
Publik harus memahami bahwa keterbukaan informasi bukan ancaman, melainkan mekanisme perlindungan bagi warga agar kebijakan berjalan sebagaimana mestinya. Dana desa bukan uang pribadi kepala desa atau pejabat kementerian, tetapi berasal dari pajak rakyat yang harus dikelola dengan jujur dan bertanggung jawab.
Maka, pertanyaan yang lebih besar bukanlah tentang wartawan atau LSM yang dianggap mengganggu. Pertanyaan sebenarnya adalah: apa yang sedang disembunyikan dari dana desa hingga pengawasannya harus dibatasi.