Kekerasan bukanlah solusi yang dapat diterima dalam masyarakat yang menjunjung nilai kemanusiaan. Kasus pemukulan dokter koas Universitas Sriwijaya (Unsri) di Palembang telah menghebohkan publik setelah rekamannya viral di media sosial. Peristiwa ini tidak hanya mengekspos perilaku individu, tetapi juga menunjukkan sisi kelam budaya kekerasan dan relasi kuasa yang timpang dalam struktur sosial kita.
Motif pelaku, seperti yang dijelaskan oleh pihak kepolisian, menunjukkan loyalitas berlebih kepada seorang atasan, Lina Dedy. Loyalitas ini, yang seharusnya dimanifestasikan melalui kerja keras atau penghormatan profesional, justru diwujudkan dalam bentuk kekerasan terhadap korban. Pelaku, yang merasa perlu menunjukkan kesetiaannya, memukul seorang dokter koas yang dianggap bersikap kurang sopan. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana subordinasi dan relasi kuasa dapat menciptakan tindakan destruktif, terutama dalam konteks masyarakat yang masih terjebak dalam pola pikir feodal.
Kejadian ini juga mencerminkan bagaimana budaya kekerasan telah terinternalisasi dalam norma sosial. Insiden ini terjadi di ruang publik dan disaksikan oleh banyak orang, tetapi tidak ada upaya untuk mencegah tindakan tersebut. Hanya setelah rekaman video penganiayaan itu viral, perhatian masyarakat dan aparat hukum terarah pada kasus ini. Fenomena ini menyoroti bahwa media sosial kini berfungsi sebagai alat pemicu keadilan di tengah sistem yang sering kali lamban merespons kebutuhan korban.
Dari perspektif hukum, pelaku kini menghadapi ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun sesuai Pasal 351 ayat 2 KUHP. Namun, pertanyaannya adalah, apakah sanksi hukum ini mampu menyentuh akar persoalan? Relasi kuasa yang timpang dan budaya feodal yang mengakar bukanlah isu yang dapat diselesaikan hanya dengan hukuman pidana.
Dalam banyak kasus, budaya feodal menciptakan hierarki sosial yang mengurangi hak individu, terutama mereka yang berada di posisi subordinat. Fenomena ini diperparah oleh kurangnya pemahaman tentang hak asasi manusia, baik oleh pelaku maupun korban. Edukasi yang memadai tentang pentingnya menghormati hak setiap individu masih menjadi tantangan besar di masyarakat kita.
Kasus ini juga membuka diskusi tentang perlindungan tenaga kesehatan, terutama mereka yang masih dalam masa pendidikan seperti dokter koas. Mereka berada dalam posisi yang rentan, baik dari segi fisik maupun mental, karena sistem pendidikan dan praktik yang tidak menawarkan perlindungan optimal. Mereka sering kali menghadapi tekanan berlebih dari berbagai pihak, mulai dari institusi pendidikan hingga lingkungan kerja, tanpa adanya mekanisme perlindungan yang memadai.
Untuk menghindari terulangnya kasus serupa, diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama, edukasi terkait hak asasi manusia harus dijadikan prioritas nasional, mencakup semua lapisan masyarakat. Pemahaman bahwa kekerasan bukanlah solusi harus ditanamkan sejak dini, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan kerja. Kedua, kebijakan perlindungan tenaga kesehatan, termasuk dokter koas, harus dirancang secara lebih rinci dan diberlakukan secara ketat. Misalnya, regulasi yang melarang segala bentuk tindakan intimidasi atau kekerasan di lingkungan kerja dapat menjadi langkah awal yang baik.
Ketiga, pemberdayaan hukum harus dilakukan secara proaktif. Aparat penegak hukum perlu memastikan bahwa setiap tindakan kekerasan ditangani dengan serius, tidak hanya karena viral di media sosial, tetapi karena nilai kemanusiaan yang dilanggar. Penegakan hukum yang tegas dan adil dapat menjadi sinyal kuat bagi masyarakat bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak akan ditoleransi.
Akhirnya, peristiwa ini adalah pengingat pahit bahwa nilai kemanusiaan sering kali baru menjadi perhatian setelah korban menjadi pusat perhatian publik. Kita harus mulai membangun budaya yang menolak kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik dan memperkuat kesadaran bahwa setiap individu memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat dan bermartabat.