Jakarta – Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik pendekatan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung angka kemiskinan yang dinilai tidak sesuai dengan realitas kesejahteraan masyarakat saat ini. Celios mendorong agar Indonesia mengadopsi metode pengukuran baru berbasis disposable income atau pendapatan bersih setelah kebutuhan dasar terpenuhi.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menyatakan bahwa metode yang digunakan BPS—berdasarkan garis kemiskinan makanan dan non-makanan—telah usang dan gagal menangkap kompleksitas kemiskinan modern.
“Pendekatan ini cocok untuk era 1970-an, tapi kini sudah tidak relevan. Kita perlu indikator yang mempertimbangkan faktor geografis, beban generasi sandwich, hingga kebutuhan dasar non-makanan,” ujar Media dalam diskusi publik, Rabu (28/5/2025).
Ia menyarankan agar metode yang digunakan mengacu pada praktik internasional seperti di Uni Eropa, yang menilai kesejahteraan masyarakat secara multidimensi, termasuk aspek pendidikan, kesehatan, dan keseimbangan kehidupan.
Celios juga menekankan bahwa data kemiskinan harus berfungsi sebagai alat evaluasi kebijakan sosial, bukan sekadar alat statistik atau kepentingan politik.
“Data kemiskinan seharusnya digunakan untuk menilai dampak kebijakan fiskal dan sosial, seperti subsidi pangan, PKH, hingga MBG. Jika tidak efektif, maka program tersebut perlu dievaluasi,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, Celios mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pendekatan baru dalam pengukuran kemiskinan, sekaligus menyelaraskan indikator antarinstansi dan memperkuat integrasi data.
Peneliti Celios, Bara, menambahkan bahwa bukan hanya data kemiskinan yang perlu diperbarui, tapi juga angka pengangguran. Ia menyoroti bahwa data resmi belum mencerminkan realitas pekerja informal, terutama mereka yang tergabung dalam gig economy seperti ojek online.
“Banyak pekerja dengan jam kerja tinggi tapi penghasilan di bawah UMR. Ini tidak tercermin dalam data resmi,” ujar Bara.
Ia mencatat bahwa proporsi pekerja yang menerima upah di bawah UMR meningkat dari 63% pada 2021 menjadi 84% pada 2024. Pekerja ojek online bahkan tercatat bekerja rata-rata 54,5 jam per minggu, jauh di atas rata-rata nasional.
Perbedaan data kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia juga menjadi sorotan. Jika menurut BPS angka kemiskinan hanya 8,57% atau 24 juta orang, Bank Dunia menyebutkan hingga 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global dengan standar US$ 6,85 per hari.