Indonesia belum benar-benar pulih dari luka politik dua periode pemerintahan Jokowi. Luka itu belum sembuh, justru makin menganga. Mulai dari pemaksaan proyek IKN, pengesahan UU kontroversial, kasus dugaan ijazah palsu yang tak pernah terbuka, hingga peristiwa politik yang secara terang-terangan menunjukkan praktik nepotisme dalam sistem demokrasi kita.
Namun yang paling memalukan dalam dua periode Jokowi adalah upaya sistematis untuk memperpanjang kekuasaan secara diam-diam. Dimulai dari kampanye tiga periode yang disuarakan oleh para menteri, elit partai, dan loyalis Jokowi. Dilanjutkan dengan langkah lebih licik: menempatkan anaknya sendiri sebagai calon wakil presiden melalui rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi.
Putusan yang membuka jalan bagi Gibran maju sebagai cawapres dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan Anwar Usman, adik ipar Presiden. Putusan ini bukan hanya cacat etik, tapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap konstitusi. Dan lebih buruk lagi, Anwar Usman baru diberhentikan setelah putusan berjalan, sementara hasilnya tetap sah dan tidak dibatalkan.
Dengan latar belakang seperti itu, Prabowo Subianto akhirnya menang dalam Pemilu 2024. Tapi kemenangan ini bukan kemenangan pribadi atau kemenangan ide. Ini adalah hasil dari konsolidasi kekuasaan yang dibangun Jokowi dengan segala instrumen kekuasaan yang dimilikinya.
Sejak awal, banyak pihak meragukan proses pemilu. Lembaga-lembaga pemantau seperti Perludem, ICW, dan koalisi masyarakat sipil menyoroti banyaknya dugaan pelanggaran: netralitas aparat, penggunaan bantuan sosial untuk kampanye terselubung, dan mobilisasi ASN serta kepala desa.
Protes hukum terhadap hasil pemilu pun digulirkan ke Mahkamah Konstitusi. Namun publik sudah tahu ke mana arah keputusan akan berlabuh. Masyarakat tak lagi percaya bahwa pengadilan di negeri ini bisa menghadirkan keadilan. Bukan tanpa alasan—rekam jejak MK dalam putusan batas usia cawapres sudah membuktikan bahwa lembaga ini tak lagi independen.
Salah satu contoh nyata adalah kasus Thomas Lembong, mantan pejabat publik dan pendukung kandidat capres-cawapres lain yang dengan jelas menjadi korban intimidasi kekuasaan. Tom Lembong, yang dulunya bagian dari tim Jokowi, justru ditendang keluar karena menyuarakan kecurangan pemilu dan mempertanyakan keabsahan moral proses politik. Sampai hari ini, ia tidak mendapat keadilan.
Dari sini kita bisa menyimpulkan: ketika suara rakyat diabaikan, ketika kritik dibungkam, dan ketika hukum berpihak pada kekuasaan—maka legitimasi pemerintahan yang baru pun akan cacat sejak hari pertama.
Era Jokowi telah berakhir secara administratif. Tapi kekuasaannya belum benar-benar pergi. Putranya duduk sebagai wakil presiden. Loyalisnya tetap mengisi kabinet. Dinastinya tetap mengendalikan panggung politik dari belakang layar.
Inilah yang membuat masyarakat menyebut periode Prabowo sebagai “periode ketakutan.” Bukan hanya karena ketakutan rakyat akan masa depan demokrasi, tapi juga karena ketakutan Prabowo sendiri terhadap bayang-bayang kekuasaan Jokowi yang masih terlalu kuat.
Prabowo bukan presiden yang sepenuhnya bebas. Ia menjadi presiden dengan syarat dan kontrak tak tertulis: bahwa dinasti Jokowi harus tetap dilindungi, dan struktur kekuasaan lama tidak boleh disentuh. Ini artinya, penguasa lama masih menjadi aktor di balik layar kekuasaan baru.
Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak tokoh-tokoh berpengaruh di pemerintahan Jokowi disebut-sebut akan tetap bertahan di kabinet Prabowo. Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, masih menjadi bayangan kekuasaan yang tak tersentuh. Begitu juga sejumlah komisaris dan direksi BUMN yang ditunjuk atas dasar loyalitas politik, bukan kompetensi.
Rakyat yang menaruh harapan pada Prabowo untuk membawa perubahan, mulai mempertanyakan: apakah ini pemerintahan baru, atau hanya perpanjangan kekuasaan lama dengan wajah berbeda?
Dalam kondisi seperti ini, muncul satu pertanyaan besar yang harus dijawab: apakah Prabowo akan menjadi presiden dengan mandat rakyat, atau presiden boneka dari kekuasaan yang belum rela melepaskan kendali?
Satu-satunya cara untuk membuktikan dirinya bukan sekadar penerus dinasti adalah dengan melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi, membangun pemerintahan yang berani bertindak adil, dan berani membuka ruang kritik seluas-luasnya.
Namun tanda-tanda awal tidak menunjukkan harapan itu. Bahkan hingga Juli 2025, publik belum melihat arah yang jelas dalam kebijakan utama Prabowo. Tidak ada sinyal penguatan demokrasi. Tidak ada reformasi hukum. Tidak ada pernyataan tegas mengenai pelepasan diri dari dinasti.
Yang ada justru ekspresi simbolik: senyum di podium, parade militer, dan kampanye citra bahwa Prabowo adalah pemimpin yang lembut. Tapi rakyat sudah belajar bahwa kekuasaan tidak boleh dinilai dari gaya bicara, melainkan dari sikap terhadap hukum dan keadilan.
Jika Prabowo ingin dikenang bukan sebagai presiden transisi dari kekuasaan memalukan ke kekuasaan yang lebih menakutkan, maka ia harus bertindak. Harus menertibkan sistem. Harus mengembalikan kepercayaan publik terhadap hukum. Dan yang terpenting: harus menolak dikendalikan oleh warisan dinasti politik Jokowi.
Jika tidak, maka ia hanya akan menjadi bagian dari kesatuan narasi kelam: bab selanjutnya dari kemunduran demokrasi Indonesia.