Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Kamis, 13 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Dari Memalukan ke Menakutkan

Saat bangsa belum pulih dari kerusakan moral kekuasaan, kita masuk ke era baru yang tak kalah mencemaskan: era ketakutan terhadap dinasti lama yang tak benar-benar pergi.
Udex MundzirUdex Mundzir27 Juli 2025 Editorial
Transisi Kekuasaan Jokowi ke Prabowo
Ilustrasi Transisi Kekuasaan Jokowi ke Prabowo.
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Indonesia belum benar-benar pulih dari luka politik dua periode pemerintahan Jokowi. Luka itu belum sembuh, justru makin menganga. Mulai dari pemaksaan proyek IKN, pengesahan UU kontroversial, kasus dugaan ijazah palsu yang tak pernah terbuka, hingga peristiwa politik yang secara terang-terangan menunjukkan praktik nepotisme dalam sistem demokrasi kita.

Namun yang paling memalukan dalam dua periode Jokowi adalah upaya sistematis untuk memperpanjang kekuasaan secara diam-diam. Dimulai dari kampanye tiga periode yang disuarakan oleh para menteri, elit partai, dan loyalis Jokowi. Dilanjutkan dengan langkah lebih licik: menempatkan anaknya sendiri sebagai calon wakil presiden melalui rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi.

Putusan yang membuka jalan bagi Gibran maju sebagai cawapres dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan Anwar Usman, adik ipar Presiden. Putusan ini bukan hanya cacat etik, tapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap konstitusi. Dan lebih buruk lagi, Anwar Usman baru diberhentikan setelah putusan berjalan, sementara hasilnya tetap sah dan tidak dibatalkan.

Dengan latar belakang seperti itu, Prabowo Subianto akhirnya menang dalam Pemilu 2024. Tapi kemenangan ini bukan kemenangan pribadi atau kemenangan ide. Ini adalah hasil dari konsolidasi kekuasaan yang dibangun Jokowi dengan segala instrumen kekuasaan yang dimilikinya.

Sejak awal, banyak pihak meragukan proses pemilu. Lembaga-lembaga pemantau seperti Perludem, ICW, dan koalisi masyarakat sipil menyoroti banyaknya dugaan pelanggaran: netralitas aparat, penggunaan bantuan sosial untuk kampanye terselubung, dan mobilisasi ASN serta kepala desa.

Protes hukum terhadap hasil pemilu pun digulirkan ke Mahkamah Konstitusi. Namun publik sudah tahu ke mana arah keputusan akan berlabuh. Masyarakat tak lagi percaya bahwa pengadilan di negeri ini bisa menghadirkan keadilan. Bukan tanpa alasan—rekam jejak MK dalam putusan batas usia cawapres sudah membuktikan bahwa lembaga ini tak lagi independen.

Salah satu contoh nyata adalah kasus Thomas Lembong, mantan pejabat publik dan pendukung kandidat capres-cawapres lain yang dengan jelas menjadi korban intimidasi kekuasaan. Tom Lembong, yang dulunya bagian dari tim Jokowi, justru ditendang keluar karena menyuarakan kecurangan pemilu dan mempertanyakan keabsahan moral proses politik. Sampai hari ini, ia tidak mendapat keadilan.

Dari sini kita bisa menyimpulkan: ketika suara rakyat diabaikan, ketika kritik dibungkam, dan ketika hukum berpihak pada kekuasaan—maka legitimasi pemerintahan yang baru pun akan cacat sejak hari pertama.

Era Jokowi telah berakhir secara administratif. Tapi kekuasaannya belum benar-benar pergi. Putranya duduk sebagai wakil presiden. Loyalisnya tetap mengisi kabinet. Dinastinya tetap mengendalikan panggung politik dari belakang layar.

Inilah yang membuat masyarakat menyebut periode Prabowo sebagai “periode ketakutan.” Bukan hanya karena ketakutan rakyat akan masa depan demokrasi, tapi juga karena ketakutan Prabowo sendiri terhadap bayang-bayang kekuasaan Jokowi yang masih terlalu kuat.

Prabowo bukan presiden yang sepenuhnya bebas. Ia menjadi presiden dengan syarat dan kontrak tak tertulis: bahwa dinasti Jokowi harus tetap dilindungi, dan struktur kekuasaan lama tidak boleh disentuh. Ini artinya, penguasa lama masih menjadi aktor di balik layar kekuasaan baru.

Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak tokoh-tokoh berpengaruh di pemerintahan Jokowi disebut-sebut akan tetap bertahan di kabinet Prabowo. Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, masih menjadi bayangan kekuasaan yang tak tersentuh. Begitu juga sejumlah komisaris dan direksi BUMN yang ditunjuk atas dasar loyalitas politik, bukan kompetensi.

Rakyat yang menaruh harapan pada Prabowo untuk membawa perubahan, mulai mempertanyakan: apakah ini pemerintahan baru, atau hanya perpanjangan kekuasaan lama dengan wajah berbeda?

Dalam kondisi seperti ini, muncul satu pertanyaan besar yang harus dijawab: apakah Prabowo akan menjadi presiden dengan mandat rakyat, atau presiden boneka dari kekuasaan yang belum rela melepaskan kendali?

Satu-satunya cara untuk membuktikan dirinya bukan sekadar penerus dinasti adalah dengan melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi, membangun pemerintahan yang berani bertindak adil, dan berani membuka ruang kritik seluas-luasnya.

Namun tanda-tanda awal tidak menunjukkan harapan itu. Bahkan hingga Juli 2025, publik belum melihat arah yang jelas dalam kebijakan utama Prabowo. Tidak ada sinyal penguatan demokrasi. Tidak ada reformasi hukum. Tidak ada pernyataan tegas mengenai pelepasan diri dari dinasti.

Yang ada justru ekspresi simbolik: senyum di podium, parade militer, dan kampanye citra bahwa Prabowo adalah pemimpin yang lembut. Tapi rakyat sudah belajar bahwa kekuasaan tidak boleh dinilai dari gaya bicara, melainkan dari sikap terhadap hukum dan keadilan.

Jika Prabowo ingin dikenang bukan sebagai presiden transisi dari kekuasaan memalukan ke kekuasaan yang lebih menakutkan, maka ia harus bertindak. Harus menertibkan sistem. Harus mengembalikan kepercayaan publik terhadap hukum. Dan yang terpenting: harus menolak dikendalikan oleh warisan dinasti politik Jokowi.

Jika tidak, maka ia hanya akan menjadi bagian dari kesatuan narasi kelam: bab selanjutnya dari kemunduran demokrasi Indonesia.

Jokowi Tiga Periode Krisis Demokrasi Nepotisme Politik Prabowo Subianto Transisi Kekuasaan
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleIndonesia dan Dua Periode Jokowi yang Memalukan
Next Article MUI Nyatakan Sound Horeg Haram, Begini Penjelasannya

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Dato Sri Tahir: Purbaya Sosok Tepat Atasi Tantangan Ekonomi Nasional

11 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Shuka Grill: Pilihan All You Can Eat yang Memikat

Food Lina Marlina

Taman di Jakarta akan Dibuka 24 Jam, Siapa yang Jaga?

Editorial Udex Mundzir

Narasi Dizalimi, Strategi Politik

Editorial Udex Mundzir

Mengakhiri Bayang Jokowi

Editorial Udex Mundzir

THR 2025 Cair Lebih Cepat, Siapkan Rencana Anda!

Bisnis Assyifa
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

KPK Cetak Quattrick di Riau, Empat Gubernur Tersandung Korupsi

PB XIII Hangabehi Wafat, Takhta Keraton Surakarta Tunggu Pewaris Resmi

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.