Washington D.C. – Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (DPR AS) mendesak Apple dan Google untuk bersiap menghapus TikTok dari toko aplikasi mereka paling lambat Januari 2025. Langkah ini diambil untuk menegakkan undang-undang yang mewajibkan ByteDance, perusahaan induk TikTok asal Tiongkok, menjual aplikasi tersebut kepada entitas non-Cina sebelum tenggat waktu 19 Januari 2025.
Surat desakan tersebut dikirimkan kepada CEO Apple Tim Cook dan CEO Alphabet Sundar Pichai pada Jumat (13/12/2024). Dalam surat itu, DPR AS mengingatkan kedua perusahaan teknologi besar ini akan tanggung jawab mereka sebagai penyedia layanan aplikasi di bawah undang-undang baru.
“Tanpa divestasi yang memenuhi syarat, undang-undang melarang penyedia layanan untuk memelihara, memperbarui, atau mendistribusikan aplikasi yang dianggap dikendalikan oleh musuh asing,” demikian isi surat DPR AS yang dikutip dari laporan CNBC.
Undang-undang ini pertama kali disahkan Presiden Joe Biden pada April 2024, sebagai bagian dari upaya memperketat keamanan nasional AS di tengah meningkatnya kekhawatiran atas potensi pengawasan data oleh pemerintah Tiongkok melalui TikTok.
Pengadilan Banding AS di Washington D.C. pekan lalu menolak permintaan TikTok untuk menunda pemberlakuan undang-undang tersebut. TikTok sebelumnya menyatakan bahwa aturan ini melanggar hak Amandemen Pertama pengguna mereka yang berjumlah 170 juta di AS.
TikTok juga memperingatkan bahwa bisnis kecil dan kreator konten di AS dapat kehilangan pendapatan hingga $1,3 miliar atau sekitar Rp20 triliun akibat larangan ini.
“Tindakan ini inkonstitusional dan akan merugikan jutaan pengguna kami, terutama bisnis kecil dan kreator lokal,” ujar seorang juru bicara TikTok.
ByteDance berencana membawa kasus ini ke Mahkamah Agung untuk menggugat keputusan pengadilan tersebut.
Sementara itu, Presiden terpilih Donald Trump belum menyatakan sikapnya terkait larangan ini. Pada masa jabatan pertamanya, Trump juga sempat mendorong pelarangan TikTok, tetapi berubah sikap setelah bertemu dengan Jeff Yass, seorang investor utama ByteDance. Perusahaan milik Yass, Susquehanna International Group, diketahui memiliki 15% saham di ByteDance, menjadikannya salah satu pemegang saham terbesar.
Para pakar menyebut keputusan ini akan membawa dampak luas, tidak hanya bagi TikTok tetapi juga bagi hubungan perdagangan antara AS dan Tiongkok. Di sisi lain, bisnis kecil dan kreator konten yang bergantung pada TikTok mengaku khawatir akan masa depan mereka.
“Tindakan ini akan menghancurkan komunitas kreator di AS dan merugikan bisnis kecil yang menggunakan TikTok sebagai platform pemasaran utama,” ujar seorang kreator konten yang enggan disebutkan namanya.
Apple dan Google, sebagai operator toko aplikasi terbesar di dunia, menghadapi tekanan besar untuk mematuhi peraturan ini. Namun, beberapa pihak juga mempertanyakan implementasi larangan tersebut, mengingat TikTok adalah salah satu aplikasi terpopuler dengan jutaan pengguna aktif harian di AS.
Dengan tenggat waktu yang semakin dekat, ByteDance harus mengambil langkah strategis untuk mematuhi peraturan, atau TikTok terancam hilang dari pasar AS.