Rasa muak makin mengeras di tengah masyarakat ketika janji-janji antikorupsi justru dibalikkan arah beban moralnya kepada publik. Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto meminta masyarakat untuk aktif melaporkan pejabat korup di wilayah masing-masing. Niatnya bisa jadi baik. Tapi reaksi warganet justru didominasi sinisme. Bukan tanpa alasan.
Di ruang komentar media sosial, respons spontan masyarakat mengungkap sesuatu yang lebih dalam: krisis kepercayaan. Rakyat sudah terlalu sering melihat bagaimana pelapor malah dikriminalisasi, diintimidasi, bahkan “menghilang” secara sosial atau literal. Beberapa komentar viral menyebutkan, “Kemarin ada yang lapor, malah pelapornya yang dipecat,” atau “Setelah lapor, eksekusinya apa? Bisa-bisa kita yang ilang.”
Pernyataan-pernyataan ini memperlihatkan luka kolektif akibat kegagalan sistem perlindungan pelapor. Indonesia memang memiliki regulasi perlindungan whistleblower, tapi dalam praktiknya, sangat jarang diterapkan dengan integritas. Contoh paling nyata adalah kasus pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang membongkar korupsi atasan, lalu malah dibekukan posisinya. Dalam sistem demokrasi, ini adalah kegagalan etik sekaligus administratif.
Di sisi lain, permintaan kepada rakyat untuk melaporkan korupsi juga menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah negara telah menyerah terhadap fungsi pengawasan internal dan penegakan hukum? Dalam struktur birokrasi kita, pengawasan seharusnya dilakukan oleh Inspektorat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga audit internal lainnya. Semua lembaga ini dibiayai dari APBN—uang rakyat—dengan alokasi anggaran yang tidak kecil.
Menurut data APBN 2025, anggaran KPK mencapai lebih dari Rp1,3 triliun, sementara BPK menyentuh Rp4,7 triliun. Belum termasuk anggaran untuk kejaksaan dan kepolisian yang masing-masing di atas Rp15 triliun. Lalu, di tengah belanja negara sebesar itu, kenapa beban justru kembali dibebankan kepada rakyat sipil?
Logika ini memperlihatkan adanya pembelokan tanggung jawab. Dalam sistem tata kelola negara yang baik, rakyat berhak untuk tahu dan turut mengawasi, tetapi bukan menjadi garda terdepan dalam pengungkapan. Itu bukan tugas rakyat. Itu tugas negara.
Kita tak bisa menutup mata bahwa permintaan kepada rakyat untuk melaporkan korupsi juga menyimpan paradoks. Di waktu yang sama ketika seruan itu dilontarkan, banyak pejabat tinggi yang justru belum tersentuh proses hukum. Dalam kabinet saat ini, masih ada menteri aktif yang terseret kasus korupsi namun belum jelas proses lanjutannya. Beberapa di antaranya bahkan sudah diperiksa, namun status hukumnya tidak pernah diumumkan ke publik.
Fenomena ini memunculkan persepsi bahwa hukum di Indonesia masih tumpul ke atas. Rakyat tentu paham. Dan karena itu, mereka enggan untuk menjadi “pahlawan laporan.” Sebab sejarah menunjukkan, banyak yang menjadi pelapor justru berakhir sebagai korban. Mereka dituntut balik dengan UU ITE, dipaksa mundur dari jabatannya, atau dikucilkan dari lingkungan sosial dan profesional.
Sikap netizen dalam komentar-komentar viral bukanlah sekadar sindiran. Itu cermin dari trauma struktural. Rakyat bukan tidak mau terlibat dalam pemberantasan korupsi. Tapi mereka muak ketika diberi tugas tanpa perlindungan. Disuruh melapor, tapi tidak diberi tempat aman. Diminta berani, tapi tidak diberi jaminan hukum.
Sebagai presiden terpilih, Prabowo perlu memahami bahwa membangun kepercayaan tidak cukup dengan ajakan. Ia harus membuktikan bahwa negara benar-benar serius dalam melindungi integritas hukum. Langkah konkret pertama adalah menjamin perlindungan total bagi pelapor. Ini berarti, bukan hanya sekadar tidak dituntut balik, tetapi juga dilindungi identitas dan kehidupannya.
Langkah berikutnya, lakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan internal pemerintah. Apakah Inspektorat Jenderal di tiap kementerian benar-benar bekerja? Apakah sistem audit internal bisa diakses publik? Apakah KPK masih independen, atau justru sudah dikooptasi oleh kekuasaan?
Publik menilai bukan dari pidato, tapi dari proses hukum yang adil dan transparan. Rakyat akan percaya jika pelanggaran oleh pejabat—tanpa pandang jabatan dan koneksi politik—diproses dengan tegas dan terbuka. Jika seorang menteri korup ditangkap, rakyat akan melihat bahwa hukum bekerja. Jika seorang gubernur bersalah dipenjara tanpa kompromi, rakyat akan kembali berharap.
Pemberantasan korupsi tidak bisa diserahkan kepada rakyat yang tanpa kekuasaan. Tugas rakyat bukan menegakkan hukum, tapi memastikan bahwa yang berkuasa melakukannya. Ketika peran dibalik, maka fungsi negara menjadi kabur.
Sebagai pemimpin baru, Prabowo perlu menetapkan standar baru. Jangan mulai dengan melempar beban. Mulailah dengan menanggung tanggung jawab. Karena hanya dengan memberi contoh dari atas, kepercayaan dari bawah akan tumbuh.