Jakarta – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menyoroti mandeknya penanganan kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Kasus ini telah berjalan selama sepuluh tahun tanpa kejelasan hukum, bahkan terjadi saling lempar tanggung jawab di internal kepolisian.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang tidak konsisten dalam menangani kasus dugaan korupsi proyek payment gateway di Kementerian Hukum dan HAM tahun anggaran 2014. Ia menilai penundaan proses hukum ini dapat mencederai citra Polri yang selama ini dikenal cepat menangani kasus tindak pidana korupsi.
“Tetapi kenapa untuk perkara ini malah jadi saling lempar antara Bareskrim dan Polda Metro Jaya? Ini bisa menurunkan kepercayaan publik pada institusi kepolisian,” ujar Boyamin, Rabu (21/5/2025).
Kasus ini mencuat sejak Denny ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri pada 2015 saat dipimpin Jenderal Badrodin Haiti. Ia diduga menyalahgunakan wewenang dalam menunjuk dua vendor untuk proyek sistem pembayaran elektronik paspor, yakni PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia.
Menurut informasi dari penyidik kala itu, Denny diduga memfasilitasi pembukaan rekening atas nama vendor yang menerima pembayaran dari masyarakat sebelum diteruskan ke kas negara, yang seharusnya langsung disetorkan ke bendahara negara. Dugaan kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp32,09 miliar, serta pungutan tidak sah senilai Rp605 juta.
Pada 2018, penanganan perkara dilimpahkan dari Mabes Polri ke Polda Metro Jaya, namun hingga kini tidak ada kemajuan berarti. Bahkan, pada 11 November 2024, MAKI bersama LP3HI menggugat Kabareskrim Polri, Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, dan Kajati Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas tuduhan penghentian penyidikan tanpa dasar jelas.
Pelapor kasus ini, Andi Syamsul Bahri, juga menyatakan kekecewaannya atas lambannya penanganan perkara oleh pihak kepolisian. Dalam pernyataan terpisah, Andi menyebut telah beberapa kali menanyakan perkembangan kasus namun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Boyamin menilai kasus ini layak diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bila terus stagnan. Menurutnya, intervensi lembaga antirasuah menjadi opsi terakhir demi keadilan hukum dan penegakan prinsip akuntabilitas pejabat publik.