Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 14 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Kebebasan Pers yang Dikikis Diam-Diam

Warisan Habibie tentang pers bebas sedang terancam oleh negara yang makin lihai menutup mulut tanpa membredel.
Udex MundzirUdex Mundzir9 April 2025 Editorial
Ancaman Terhadap Kebebasan Pers di Indonesia
Ilustrasi Ancaman Terhadap Kebebasan Pers di Indonesia
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Kebebasan tidak datang tiba-tiba. Ia diperjuangkan oleh keberanian melawan ketakutan dan kontrol. B.J. Habibie, dalam masa jabatan yang hanya sekitar satu tahun, membuat keputusan revolusioner yang membebaskan pers Indonesia dari jerat otoritarianisme Orde Baru. Ia mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), membubarkan Departemen Penerangan, dan mengesahkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Dalam waktu singkat, Indonesia merasakan euforia kebebasan berekspresi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, seperempat abad setelahnya, kebebasan itu sedang terkikis—bukan oleh larangan eksplisit, tetapi oleh taktik manipulatif, regulasi samar, dan ancaman digital yang membungkam perlahan tapi pasti.

Setelah reformasi, Indonesia sempat menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan media tercepat di dunia. Jumlah media membengkak, jurnalisme investigatif mulai berani, dan publik menikmati informasi yang lebih beragam. Tapi kini, data Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan peringkat kebebasan pers Indonesia terus merosot. Pada 2024, Indonesia berada di posisi ke-108 dari 180 negara, turun drastis dibanding tahun-tahun awal reformasi.

Apa yang terjadi? Pemerintahan Presiden Joko Widodo, meski tidak secara langsung membungkam media, telah menciptakan atmosfer tidak sehat bagi kebebasan pers. Pertama, melalui penggunaan buzzer yang aktif mengintimidasi wartawan, mengganggu narasi kritis, dan mengalihkan fokus publik dari isu-isu penting ke konflik buatan.

Kedua, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang semula dimaksudkan untuk melindungi warga digital, justru menjadi alat represi terhadap suara-suara kritis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sepanjang 2023 saja ada lebih dari 60 kasus kriminalisasi jurnalis dengan dalih UU ITE dan pencemaran nama baik.

Pola pengendalian hari ini lebih canggih ketimbang masa Orde Baru. Dulu, pembredelan dilakukan secara terbuka. Sekarang, tekanan hadir dalam bentuk ancaman siber, pemotongan iklan pemerintah, pemolisian narasi melalui influencer berbayar, dan pembiaran terhadap kekerasan terhadap jurnalis. Ini adalah bentuk baru represi—tanpa surat resmi, tanpa palu pengadilan, tapi tetap menakutkan dan efektif.

Pemerintahan Jokowi, yang awalnya dielu-elukan sebagai angin segar demokrasi, justru menjadi salah satu aktor utama dalam pembusukan iklim kebebasan berpendapat. Perlu dicatat, berbagai laporan investigasi yang menyentuh lingkaran kekuasaan—seperti korupsi proyek infrastruktur, konflik agraria, hingga isu pelanggaran HAM—sering kali tidak mendapatkan ruang di media arus utama. Banyak media besar kini kehilangan independensi karena ketergantungan pada iklan pemerintah dan afiliasi politik pemiliknya.

Kini, ketika Prabowo Subianto bersiap melanjutkan kepemimpinan nasional, banyak pihak khawatir bahwa pendekatan represif terhadap kebebasan pers akan tetap berlanjut, atau bahkan diperparah. Sejarah Prabowo di masa Orde Baru bukan catatan yang menggembirakan bagi kebebasan sipil.

Meski ia berupaya menunjukkan citra baru yang lebih santun dan demokratis, tidak ada jaminan bahwa pemerintahan selanjutnya akan berpihak pada kebebasan berekspresi. Terlebih, jika pola Jokowi diwarisi secara penuh—mengontrol narasi lewat medsos, mengabaikan kritik publik, dan menjinakkan media dengan insentif ekonomi.

Kita juga melihat munculnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru disahkan pada akhir 2022 dan mulai berlaku pada 2026. Pasal-pasal yang mengatur penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, serta penyebaran “berita bohong” mengandung celah besar untuk dikriminalisasi. Ini bertentangan langsung dengan semangat Undang-Undang Pers 1999, yang menjamin bahwa sengketa pers harus diselesaikan oleh Dewan Pers, bukan aparat hukum.

Tidak hanya itu, di ranah digital, sensor algoritmik menjadi bentuk pembungkaman baru. Konten yang tidak sejalan dengan narasi resmi sering kali disembunyikan atau ditandai sebagai disinformasi—padahal substansinya valid dan penting bagi publik. Kontrol tidak lagi hadir dalam bentuk larangan eksplisit, tetapi dalam bentuk visibilitas yang ditekan secara sistematis.

Masalah ini tidak semata-mata soal kebebasan media, tetapi tentang hak publik atas informasi. Pers yang bebas adalah instrumen utama agar rakyat bisa mengawasi kekuasaan. Ketika pers dibungkam, rakyat kehilangan alat untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka menjadi konsumen propaganda, bukan warga negara yang sadar dan kritis.

Di tengah situasi ini, apa yang bisa dilakukan?Pertama, Dewan Pers dan organisasi profesi seperti AJI dan PWI harus lebih aktif melakukan pembelaan terhadap jurnalis yang terancam. Advokasi hukum harus ditingkatkan, terutama dalam menghadapi kriminalisasi berbasis UU ITE dan RKUHP.

Kedua, perlu didorong penguatan ekosistem media independen. Media alternatif yang dikelola secara nirlaba dan mengandalkan dukungan publik bisa menjadi oase di tengah gurun propaganda. Platform seperti Project Multatuli, Tirto, dan Tempo perlu mendapat sokongan nyata dari masyarakat, termasuk dalam bentuk langganan dan donasi.

Ketiga, publik harus terus mengawal pemerintah melalui partisipasi digital yang sehat. Literasi media menjadi kunci agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam narasi tunggal yang dikendalikan elite. Sekolah dan kampus harus mengajarkan keterampilan berpikir kritis sejak dini, agar generasi muda tidak menjadi korban algoritma yang bias.

Terakhir, media sosial harus dikembalikan pada fungsinya sebagai ruang publik yang terbuka. Perusahaan teknologi seperti Meta, X, dan Google harus diminta bertanggung jawab atas transparansi algoritma dan perlindungan terhadap jurnalis yang menjadi korban doxing atau persekusi daring.

Kebebasan pers bukan warisan yang bisa diwariskan begitu saja. Ia harus terus diperjuangkan. Habibie membuka jalan, tapi jalan itu bisa tertutup kembali jika kita diam. Dalam demokrasi, tidak ada kebebasan yang abadi tanpa kesadaran kolektif untuk menjaganya.

Demokrasi Indonesia Kebebasan Pers Pers dan Politik UU ITE Warisan Habibie
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleB.J. Habibie: Arsitek Kebebasan Pers Indonesia
Next Article Bupati Kukar Kenalkan Posyandu Modern

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Roy Suryo dan Rismon Sianipar Jadi Tersangka Kasus Ijazah Jokowi

7 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

10 Makanan yang Tidak Boleh Dikonsumsi Bersama Pepaya

Food Assyifa

Maulid Nabi dan Pemberian Sosial, Menghidupkan Semangat Kepedulian

Islami Alfi Salamah

Asal-Usul Shalat Tarawih 20 Rakaat Plus Witir 3 Rakaat

Islami Ericka

Kebebasan Pers yang Dikikis Diam-Diam

Editorial Udex Mundzir

Angin Segar bagi Narapidana

Editorial Udex Mundzir
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Universitas Cipasung Tasikmalaya Cetak Guru Inovatif Lewat STEAM

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

APBD Kutim Turun Drastis, Pemkab Upayakan TPP ASN Tetap Aman

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.