Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan penyimpangan dalam distribusi kuota tambahan haji yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia sebanyak 20 ribu jamaah. Tambahan kuota tersebut diperoleh melalui upaya Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, yang bertujuan mengurangi masa tunggu haji reguler yang mencapai 15 tahun. Namun, KPK menduga sebagian besar kuota itu justru dialokasikan untuk haji khusus.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa alasan permintaan tambahan kuota jelas untuk mempercepat keberangkatan jamaah reguler. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian kuota seharusnya adalah 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus. Dengan pembagian tersebut, tambahan 20 ribu kuota seharusnya terdiri dari 18.400 jamaah reguler dan 1.600 jamaah khusus.
“Kalau dikembalikan ke undang-undang, pembagian untuk kuota haji itu 92 persen untuk reguler dan 8 persen untuk khusus, ya seperti itu,” ujar Asep pada Sabtu (9/8/2025) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Menurut Asep, penyimpangan alokasi kuota ini tidak hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga masalah keadilan publik. Ia menilai bahwa jika alasan tambahan kuota adalah untuk jamaah reguler, maka tidak seharusnya sebagian besar dinikmati oleh calon jamaah haji khusus yang masa tunggunya lebih singkat.
“Kita bicara soal keadilan publik. Kalau alasan meminta tambahan untuk reguler, ya jangan sampai kemudian sebagian besar justru dinikmati pihak yang antreannya lebih singkat seperti haji khusus,” tegasnya.
KPK saat ini telah menaikkan perkara dugaan korupsi kuota haji tahun 2023–2024 di Kementerian Agama ke tahap penyidikan. Proses ini dilakukan setelah pengumpulan keterangan dari sejumlah pihak, termasuk mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Meski demikian, KPK belum mengumumkan pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Terkait potensi kerugian negara, Asep menyebut KPK akan berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung nilai pasti kerugian akibat dugaan penyimpangan tersebut. “Kerugian negaranya masih sedang dihitung… hasil komunikasi dengan pihak BPK,” jelasnya.
KPK memastikan penyelidikan akan dilakukan secara menyeluruh, termasuk kemungkinan penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) apabila ditemukan aliran dana yang mencurigakan.
