Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 14 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Makan Gratis, Simbol Negara Gagal

Ketika negara memberi makan siang gratis, kita patut bertanya, apakah rakyat sedang dibantu, atau justru sedang dilecehkan martabatnya?
Udex MundzirUdex Mundzir18 April 2025 Editorial
Makan bergizi gratis
Ilustrasi Program Makan Bergizi Gratis (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Program makan siang gratis kini menjadi kebijakan unggulan. Diperkenalkan sebagai bentuk kepedulian negara terhadap rakyat kecil. Tapi, tidak sedikit yang mempertanyakan arah dan logikanya.

Salah satu kritik paling tajam datang dari Prof. Ryaas Rasyid. Ia menyebut, program ini merupakan penghinaan terhadap bangsa sendiri. Ucapannya terasa keras, namun punya dasar yang kuat. Bila negara harus memberi makan rakyat setiap hari, maka yang bermasalah bukan rakyat—tapi sistem sosial-ekonomi yang gagal menciptakan kondisi hidup layak.

Negara seharusnya menjadi fasilitator, bukan penyuap. Ketika rakyat butuh makan bergizi, negara wajib menciptakan kondisi agar mereka bisa bekerja dan membeli makanan sendiri. Bila negara malah turun tangan langsung menyediakan nasi bungkus, itu artinya negara gagal memberdayakan.

Rakyat kita tidak kekurangan semangat. Yang mereka kurang adalah akses terhadap modal, lapangan kerja, dan harga pangan yang masuk akal. Ketika semua itu tidak tersedia, lalu negara datang membawa makan siang, itu bukan solusi—itu tambal sulam.

Masalah lain yang lebih serius adalah beban anggaran. Program makan gratis akan menyedot dana negara hingga ratusan triliun per tahun. Di tengah situasi fiskal yang sudah sempit, hal ini sangat berisiko. Bila terjadi bencana besar atau krisis ekonomi global, cadangan fiskal akan menipis.

Kebijakan ini juga membuka peluang moral hazard. Pemerintah pusat bisa terlihat baik karena memberi makan gratis, tapi pemerintah daerah harus menanggung beban operasional. Jika distribusi gagal atau mutu makanan buruk, rakyat menyalahkan pemda. Pemerintah pusat tinggal cuci tangan.

Semua ini menunjukkan bahwa program makan gratis bukan semata soal kemanusiaan. Ia sarat muatan politik dan pencitraan. Terlalu banyak kebijakan di negeri ini lahir dari kepentingan elektoral. Rakyat dijadikan komoditas suara, bukan subjek pembangunan.

Kita bisa lihat dari cara narasi ini dibangun sejak awal kampanye. Yang digambarkan bukan solusi jangka panjang, melainkan efek instan. Rakyat lapar? Diberi makan. Selesai. Padahal, pertanyaan yang harus dijawab adalah: kenapa rakyat masih lapar? Kenapa mereka tidak bisa membeli makanan?

Alih-alih memberi makan gratis, lebih masuk akal jika anggaran sebesar itu digunakan untuk membangun sistem pangan yang tangguh. Perkuat koperasi petani, subsidi benih, stabilkan harga pupuk, ciptakan lapangan kerja di sektor desa. Itu baru solusi.

Apakah anak-anak sekolah butuh asupan gizi? Tentu saja. Tapi apakah negara harus menjadi tukang masak? Tidak harus. Negara cukup memastikan harga pangan murah dan pendapatan keluarga stabil. Maka, anak-anak akan makan bergizi tanpa perlu disuapi negara.

Yang lebih menyedihkan adalah narasi yang menyamakan makan gratis dengan keadilan sosial. Ini manipulatif. Keadilan bukan soal siapa yang dapat jatah makan. Tapi soal siapa yang dapat kesempatan kerja, siapa yang bisa bertani dengan untung, dan siapa yang bebas dari beban utang.

Sementara itu, suara-suara kritik terhadap program ini kerap dibungkam dengan label: “anti rakyat kecil” atau “tidak punya empati.” Padahal, justru sebaliknya. Kritik lahir dari kepedulian pada martabat rakyat. Bahwa rakyat tidak ingin selamanya diberi. Mereka ingin mampu berdiri sendiri.

Program ini juga berisiko menciptakan generasi yang pasif. Anak-anak terbiasa mendapat makan tanpa tahu dari mana asalnya. Mereka tumbuh dalam sistem yang memberi tanpa mengajarkan proses. Lama-lama, yang lahir bukan kemandirian, tapi ketergantungan massal.

Rakyat tidak minta disuapi. Mereka minta harga beras stabil. Mereka ingin ada pekerjaan yang layak. Mereka ingin pupuk tidak langka. Mereka ingin penghasilan cukup untuk memberi makan keluarga mereka sendiri.

Jika negara sungguh ingin membantu, mulailah dari perbaikan sistem. Jangan hanya sibuk menyuapi. Bantu rakyat berdiri, bukan duduk menunggu nasi kotak.

Fiskal Negara Kemandirian Bangsa Kritik Kebijakan Politik Anggaran Program Makan Gratis
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleRencana 500 Batalyon TNI Tidak Instan, Fokus Awal 100 Unit
Next Article Tugu Titik Nol IKN Bertuliskan ‘Lorem Ipsum’, Jadi Simbol Ibu Kota yang Masih ‘Draft’

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Kopi Tuku Branding MRT Cipete

Bisnis Assyifa

Doa-doa Istimewa Keberkahan Saat Menjenguk Bayi Baru Lahir

Islami Alfi Salamah

Generasi Z dan Aksi Nyata Wujudkan SDGs

Daily Tips Ericka

Prabowo-Gibran dan Propaganda 78% Publik Puas

Editorial Udex Mundzir

Vonis Sepotong, Keadilan Cacat

Editorial Udex Mundzir
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Universitas Cipasung Tasikmalaya Cetak Guru Inovatif Lewat STEAM

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

APBD Kutim Turun Drastis, Pemkab Upayakan TPP ASN Tetap Aman

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.