Program makan siang gratis kini menjadi kebijakan unggulan. Diperkenalkan sebagai bentuk kepedulian negara terhadap rakyat kecil. Tapi, tidak sedikit yang mempertanyakan arah dan logikanya.
Salah satu kritik paling tajam datang dari Prof. Ryaas Rasyid. Ia menyebut, program ini merupakan penghinaan terhadap bangsa sendiri. Ucapannya terasa keras, namun punya dasar yang kuat. Bila negara harus memberi makan rakyat setiap hari, maka yang bermasalah bukan rakyat—tapi sistem sosial-ekonomi yang gagal menciptakan kondisi hidup layak.
Negara seharusnya menjadi fasilitator, bukan penyuap. Ketika rakyat butuh makan bergizi, negara wajib menciptakan kondisi agar mereka bisa bekerja dan membeli makanan sendiri. Bila negara malah turun tangan langsung menyediakan nasi bungkus, itu artinya negara gagal memberdayakan.
Rakyat kita tidak kekurangan semangat. Yang mereka kurang adalah akses terhadap modal, lapangan kerja, dan harga pangan yang masuk akal. Ketika semua itu tidak tersedia, lalu negara datang membawa makan siang, itu bukan solusi—itu tambal sulam.
Masalah lain yang lebih serius adalah beban anggaran. Program makan gratis akan menyedot dana negara hingga ratusan triliun per tahun. Di tengah situasi fiskal yang sudah sempit, hal ini sangat berisiko. Bila terjadi bencana besar atau krisis ekonomi global, cadangan fiskal akan menipis.
Kebijakan ini juga membuka peluang moral hazard. Pemerintah pusat bisa terlihat baik karena memberi makan gratis, tapi pemerintah daerah harus menanggung beban operasional. Jika distribusi gagal atau mutu makanan buruk, rakyat menyalahkan pemda. Pemerintah pusat tinggal cuci tangan.
Semua ini menunjukkan bahwa program makan gratis bukan semata soal kemanusiaan. Ia sarat muatan politik dan pencitraan. Terlalu banyak kebijakan di negeri ini lahir dari kepentingan elektoral. Rakyat dijadikan komoditas suara, bukan subjek pembangunan.
Kita bisa lihat dari cara narasi ini dibangun sejak awal kampanye. Yang digambarkan bukan solusi jangka panjang, melainkan efek instan. Rakyat lapar? Diberi makan. Selesai. Padahal, pertanyaan yang harus dijawab adalah: kenapa rakyat masih lapar? Kenapa mereka tidak bisa membeli makanan?
Alih-alih memberi makan gratis, lebih masuk akal jika anggaran sebesar itu digunakan untuk membangun sistem pangan yang tangguh. Perkuat koperasi petani, subsidi benih, stabilkan harga pupuk, ciptakan lapangan kerja di sektor desa. Itu baru solusi.
Apakah anak-anak sekolah butuh asupan gizi? Tentu saja. Tapi apakah negara harus menjadi tukang masak? Tidak harus. Negara cukup memastikan harga pangan murah dan pendapatan keluarga stabil. Maka, anak-anak akan makan bergizi tanpa perlu disuapi negara.
Yang lebih menyedihkan adalah narasi yang menyamakan makan gratis dengan keadilan sosial. Ini manipulatif. Keadilan bukan soal siapa yang dapat jatah makan. Tapi soal siapa yang dapat kesempatan kerja, siapa yang bisa bertani dengan untung, dan siapa yang bebas dari beban utang.
Sementara itu, suara-suara kritik terhadap program ini kerap dibungkam dengan label: “anti rakyat kecil” atau “tidak punya empati.” Padahal, justru sebaliknya. Kritik lahir dari kepedulian pada martabat rakyat. Bahwa rakyat tidak ingin selamanya diberi. Mereka ingin mampu berdiri sendiri.
Program ini juga berisiko menciptakan generasi yang pasif. Anak-anak terbiasa mendapat makan tanpa tahu dari mana asalnya. Mereka tumbuh dalam sistem yang memberi tanpa mengajarkan proses. Lama-lama, yang lahir bukan kemandirian, tapi ketergantungan massal.
Rakyat tidak minta disuapi. Mereka minta harga beras stabil. Mereka ingin ada pekerjaan yang layak. Mereka ingin pupuk tidak langka. Mereka ingin penghasilan cukup untuk memberi makan keluarga mereka sendiri.
Jika negara sungguh ingin membantu, mulailah dari perbaikan sistem. Jangan hanya sibuk menyuapi. Bantu rakyat berdiri, bukan duduk menunggu nasi kotak.