Perdebatan tentang Soeharto kembali mengemuka ketika usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 RI itu diajukan ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada Oktober 2025.
Langkah tersebut memantik gelombang penolakan publik. Sebuah petisi di Change.org bertajuk “Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto” telah mengumpulkan lebih dari 23 ribu tanda tangan hanya dalam beberapa hari.
Isu ini bukan sekadar soal penghargaan negara. Ia menyentuh ingatan sejarah dan moral kebangsaan.
Bagi mereka yang menolak, Soeharto dianggap tak memenuhi asas kemanusiaan, keadilan, dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Mereka menilai, Orde Baru sarat dengan pelanggaran HAM, praktik korupsi, serta represi politik yang panjang.
Sebaliknya, pihak yang mendukung melihat Soeharto sebagai tokoh pembangunan yang berhasil menstabilkan ekonomi Indonesia pasca 1965. Dua pandangan itu kini berhadap-hadapan tajam antara “melihat jasa” dan “mengingat luka.”
Pemerintah tentu berhak memberi penghargaan kepada tokoh yang dianggap berjasa. Namun, gelar “pahlawan nasional” bukan sekadar penghormatan administratif. Ia adalah bentuk legitimasi moral dan sejarah. Karena itu, setiap keputusan harus diambil dengan hati-hati dan terbuka.
Pendukung pengusulan Soeharto mengajukan sejumlah argumen.
Pertama, stabilitas ekonomi yang dibangun selama tiga dekade Orde Baru dianggap monumental. Setelah inflasi mencapai 600 persen pada 1965, pemerintahannya menurunkannya menjadi satu digit dalam dua tahun.
Kedua, swasembada pangan pada 1984 membuat Indonesia mendapat penghargaan dari FAO. Ketiga, pembangunan infrastruktur dan sistem pendidikan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi nasional di tahun-tahun berikutnya.
Bagi sebagian kalangan, hasil konkret seperti itu menjadi bukti kepemimpinan yang efektif. Mereka percaya stabilitas politik dan ekonomi di masa itu memungkinkan munculnya kelas menengah dan modernisasi nasional.
Bahkan ada yang berargumen bahwa “kesalahan masa lalu” harus dipisahkan dari “jasa besar terhadap bangsa.”
Namun sejarah tidak bisa dibelah sesederhana itu. Setiap kebijakan yang membawa kemajuan tetapi mengorbankan kebebasan dan nyawa manusia, tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai jasa.
Pemerintahan Soeharto dibangun di atas kekuasaan militeristik dan pembungkaman politik. Ratusan ribu orang menjadi korban pasca 1965 tanpa proses hukum yang adil.
Dalam dekade berikutnya, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, DOM Aceh, hingga penghilangan aktivis 1998 menjadi bukti bahwa kekuasaan dijalankan dengan tangan besi.
Komnas HAM melalui Tim Kajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto pada 2003 menemukan indikasi kuat keterlibatan presiden dalam sejumlah pelanggaran berat. Temuan itu tak pernah dituntaskan secara hukum.
Sebagian alasan penghentian proses hukum adalah kondisi kesehatan Soeharto menjelang akhir hayatnya. Akibatnya, sejarah hukum bangsa ini belum menuntaskan lembar kelam tersebut.
Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan tanpa penyelesaian yudisial berarti menutup pintu keadilan.
Dari sisi ekonomi, era Orde Baru memang melahirkan pertumbuhan tinggi, tetapi juga menyisakan paradoks. Ketimpangan melebar, korupsi terstruktur, dan ekonomi dikuasai segelintir kroni.
Laporan Stolen Asset Recovery Initiative (Bank Dunia dan UNODC, 2007) menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup abad ke 20. Estimasi nilai korupsinya mencapai 15–35 miliar dolar AS.
Bahkan Mahkamah Agung memutuskan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan harus mengembalikan uang negara lebih dari Rp139 miliar.
Masalahnya bukan hanya soal angka, tetapi pesan moralnya. Bagaimana mungkin seseorang yang terbukti menyalahgunakan dana publik dapat disebut pahlawan, sementara jutaan rakyat hidup dalam kemiskinan akibat sistem ekonomi timpang?
Pemberian gelar ini juga membawa dampak sosial politik serius. Mengangkat figur seperti Soeharto menjadi pahlawan bisa menimbulkan efek domino berbahaya.
Pertama, legitimasi bagi praktik otoritarianisme bisa muncul kembali dengan nama “stabilitas.”
Kedua, ingatan kolektif masyarakat terhadap korban Orde Baru akan terhapus, menormalisasi kekerasan negara.
Ketiga, generasi muda berisiko menerima versi sejarah yang tereduksi, di mana pembangunan dianggap lebih penting daripada kemanusiaan.
Bangsa yang beradab tidak boleh menukar keadilan dengan kenangan indah. Penghormatan sejati terhadap sejarah adalah mengakui seluruh sisi, termasuk yang paling gelap.
Jika alasan utama pemberian gelar adalah jasa pembangunan, penghargaan lain sebenarnya masih bisa diberikan. Misalnya, penghargaan bidang ekonomi atau ketahanan pangan.
Namun gelar “pahlawan nasional” dengan makna simbolik sebagai teladan moral bangsa menuntut standar yang jauh lebih tinggi.
Proses pengusulan juga harus benar-benar terbuka. Pasal 2 huruf h UU GTK menegaskan bahwa pemberian gelar harus transparan dan dapat dikontrol masyarakat luas.
Sayangnya, publik hanya mengetahui sebagian kecil dari proses penilaian itu. Padahal, partisipasi masyarakat adalah ruh undang-undang tersebut agar keputusan seperti ini tidak menjadi keputusan politik yang jauh dari nurani rakyat.
Pemerintah dan Dewan Gelar perlu menegaskan kembali posisi etis mereka. Apakah gelar pahlawan diberikan atas dasar prestasi administratif, atau karena nilai kemanusiaan dan keteladanan moral?
Tanpa kejelasan prinsip, penghargaan negara kehilangan makna dan berubah menjadi formalitas seremonial.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutup masa lalunya, melainkan yang berani menatapnya dengan jujur.
Mengakui jasa pembangunan tidak boleh berarti menghapus pelanggaran HAM. Menghormati tokoh sejarah tidak boleh berarti melupakan penderitaan korban.
Kita bisa menghargai peran Soeharto dalam membangun Indonesia modern. Namun, kekuasaan yang menindas rakyat tidak layak diberi gelar pahlawan.
Pahlawan adalah mereka yang memuliakan kehidupan, bukan yang menaklukkan dengan ketakutan.
Sejarah yang adil adalah sejarah yang tidak menutup luka demi kemegahan. Sebelum negara menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, negara harus menuntaskan tanggung jawab moralnya kepada para korban dan generasi yang berhak atas kebenaran.
