Kita telah terlalu lama diam, membiarkan anak-anak tumbuh dalam ekosistem digital yang tak ramah, tak terawasi, dan kerap kali berbahaya. Maka ketika Presiden Prabowo akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak pada 28 Maret 2025, ini patut disambut sebagai langkah penting—meski datang dalam jeda yang sudah terlalu panjang.
Regulasi yang sering disebut sebagai kebijakan TUNAS ini mengatur batas usia anak dalam menggunakan media sosial, menetapkan klasifikasi risiko platform, melarang profiling anak untuk tujuan komersial, serta mewajibkan edukasi digital kepada anak dan orang tua. Pemerintah juga memberi masa transisi dua tahun agar para penyelenggara sistem elektronik menyesuaikan diri.
Namun, dua tahun adalah waktu yang terlalu lama jika melihat kecepatan perubahan digital dan masifnya dampak yang sudah terjadi. Dalam tempo dua tahun, algoritma bisa berubah berkali-kali lipat, tren digital bisa berganti drastis, dan jutaan anak bisa terpapar konten yang membahayakan tumbuh kembang mereka. Kita tidak sedang berpacu dengan waktu. Kita sedang tertinggal jauh dari kenyataan.
Menurut data We Are Social 2024, sekitar 45 juta pengguna media sosial di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya menggunakan platform yang tergolong berisiko tinggi, seperti aplikasi berbagi video dan ruang percakapan anonim. Penelitian dari UNICEF Indonesia menyebutkan bahwa 1 dari 3 anak pernah menerima konten kekerasan atau pornografi secara tidak sengaja di internet.
Sayangnya, selama ini belum ada kerangka hukum yang secara khusus dan tegas melindungi anak dari bahaya digital. Yang ada hanyalah imbauan, tanggung jawab moral yang dilempar ke pundak orang tua, serta pengawasan sporadis dari platform digital yang orientasinya lebih pada profit ketimbang perlindungan.
Kehadiran aturan baru ini menandai perubahan penting: negara akhirnya turun tangan secara konkret. Tetapi langkah ini tidak boleh berhenti di atas kertas. Implementasi dan percepatan pelaksanaan adalah kunci. Jika tidak, regulasi ini hanya akan menjadi simbol politik tanpa daya tekan.
Yang paling mendesak adalah percepatan pembentukan lembaga independen pengawas ruang digital anak. Saat ini, fungsinya masih dijalankan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), namun keterlibatan satu institusi saja tidak cukup. Perlindungan anak di ruang digital menyangkut aspek psikologis, sosial, hukum, dan teknologi. Karena itu, lembaga ini harus lintas sektor, bebas intervensi politik, dan memiliki otoritas jelas untuk menindak pelanggaran.
Kedua, pemerintah harus segera mempercepat penyusunan aturan teknis pelaksana. Masa transisi tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda pengawasan. Jika perlu, dilakukan pilot project atau uji coba penerapan klasifikasi risiko platform mulai dari yang paling populer di kalangan anak-anak.
Ketiga, pemerintah harus melibatkan publik secara aktif, bukan hanya sebagai pelengkap formalitas. Orang tua, pendidik, psikolog anak, dan aktivis perlindungan anak harus duduk dalam satu meja untuk menyusun mekanisme edukasi digital yang efektif. Kita tidak bisa mengandalkan platform digital untuk mendidik anak menggunakan layanan mereka sendiri secara aman.
Kebijakan ini juga tidak bisa berdiri sendiri. Literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan nasional, mulai dari sekolah dasar. Anak-anak perlu dibekali keterampilan berpikir kritis, etika daring, dan pemahaman privasi digital sejak dini. Selama ini, pendidikan digital cenderung reaktif dan tidak merata. Padahal, tantangan dunia maya membutuhkan pendekatan sistemik dan berkelanjutan.
Di sisi lain, ketentuan larangan profiling anak untuk kepentingan komersial adalah poin krusial yang perlu diawasi ketat. Banyak platform digital menggantungkan pendapatan pada iklan berbasis data perilaku pengguna, termasuk anak-anak. Tanpa pengawasan, ketentuan ini bisa dilanggar dengan mudah.
Profiling yang dilakukan pada anak bukan hanya melanggar privasi, tapi juga berpotensi menjerumuskan mereka dalam pola konsumsi yang adiktif. Iklan yang disesuaikan dengan psikologi anak bisa mendorong pembelian impulsif, memperkuat stereotip gender, bahkan membentuk preferensi politik atau nilai sosial yang tidak sehat.
Oleh karena itu, sanksi bagi pelanggaran harus tegas dan transparan. Platform digital yang tidak mematuhi klasifikasi risiko, tidak menjalankan edukasi digital, atau tetap memprofil anak untuk iklan komersial, harus dikenakan denda dan pemutusan layanan secara bertahap. Negara tidak boleh ragu bersikap keras jika menyangkut keselamatan generasi penerus.
Percepatan kebijakan ini juga mendesak secara ekonomi. Anak-anak yang tumbuh dalam ekosistem digital yang bebas dari kontrol berisiko tinggi terhadap gangguan mental dan penurunan kualitas pendidikan. Beban ini pada akhirnya akan ditanggung negara dalam jangka panjang, baik dari sisi biaya kesehatan maupun produktivitas generasi muda.
Dari sisi sosial, peran keluarga dan komunitas harus diperkuat. Tidak semua anak memiliki orang tua yang mampu atau peduli untuk melakukan pengawasan. Karena itu, diperlukan dukungan dari sekolah, organisasi masyarakat, dan media untuk membentuk jejaring perlindungan anak berbasis komunitas.
Kebijakan ini adalah langkah maju. Tapi jika tidak dikejar dengan kecepatan dan ketegasan yang sesuai dengan dinamika ruang digital, ia bisa menjadi langkah yang sia-sia.
Negara tidak boleh lagi bermain di level retorika. Kita telah menyaksikan terlalu banyak kasus perundungan siber, eksploitasi daring, hingga ketergantungan digital yang merusak masa depan anak. Kini saatnya bergerak cepat dan menyeluruh. Perlindungan anak bukan sekadar norma, tapi tanggung jawab bersama yang tak bisa ditunda.