Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20%. Keputusan ini dianggap sebagai angin segar bagi demokrasi Indonesia, mengembalikan hak konstitusional partai politik dan warga negara dalam menentukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII, Retno Widiastuti, mendesak DPR untuk patuh terhadap putusan tersebut. “Pembentuk Undang-Undang harus memedomani keputusan MK dan tidak melakukan manuver yang mengingkari putusan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (3/1/2025).
Retno memuji langkah MK yang dinilai mengembalikan keadilan politik, membuka ruang bagi lebih banyak alternatif calon, dan mencegah potensi calon tunggal dalam pilpres mendatang.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menilai penghapusan ambang batas ini menjawab kekhawatiran publik terkait fenomena calon tunggal yang kerap terjadi pada Pilkada. Ia menyebut, “Jika ambang batas tetap diterapkan, bukan tidak mungkin pilpres juga akan diwarnai calon tunggal.”
Namun, sejumlah partai politik merespons putusan ini dengan sikap berbeda. Sekjen Golkar, Sarmuji, menilai keputusan MK mengejutkan mengingat 27 gugatan serupa sebelumnya ditolak. Sementara itu, Sekjen PDIP Said Abdullah menyatakan partainya akan tunduk pada putusan MK karena bersifat final dan mengikat.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS, Hidayat Nur Wahid, menyambut baik keputusan ini dan mendorong penghapusan ambang batas untuk Pilkada. Ia berharap langkah ini dapat lebih menyelaraskan pemilu dengan konstitusi.
Dengan adanya putusan ini, masyarakat berharap partai politik lebih fokus menyiapkan calon berdasarkan kualitas dan kinerja, bukan sekadar alasan pragmatis. Keputusan ini juga menjadi tantangan bagi DPR untuk merevisi UU Pemilu secara inklusif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan.