Jakarta – Gelombang pelarian aset ke luar negeri oleh kalangan orang kaya Indonesia semakin mencolok dalam beberapa bulan terakhir. Fenomena ini bukan sekadar pergeseran investasi, melainkan cerminan kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi dan kebijakan fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang dinilai belum meyakinkan.
Sejumlah konglomerat disebut mengalihkan dananya dalam bentuk emas, properti di luar negeri, hingga mata uang kripto seperti stablecoin USDT. Aset-aset ini dipilih karena mudah dipindahkan, sulit dilacak, dan relatif lebih aman terhadap gejolak nilai tukar atau ketidakpastian kebijakan.
“Saya semakin sering membeli USDT dalam beberapa bulan terakhir,” ujar seorang mantan eksekutif puncak konglomerasi.
Ia menilai USDT dapat menjaga nilai kekayaan sekaligus mempermudah pengalihan dana secara digital tanpa risiko keamanan fisik.
Kondisi ini menguat sejak nilai tukar rupiah tertekan hebat pada Maret 2025, ditambah kekhawatiran pelaku pasar atas rencana belanja besar-besaran pemerintah. Target ambisius untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8% per tahun dianggap sulit dicapai tanpa memicu defisit fiskal, lonjakan utang, dan inflasi yang memburuk.
Selain kripto, penjualan emas fisik pun melonjak drastis. Pengecer besar mencatat peningkatan hingga 30% pada kuartal pertama 2025. Sementara itu, tren investasi properti di luar negeri juga tumbuh, terutama di kawasan Timur Tengah yang pengawasannya lebih longgar dibandingkan negara-negara seperti Singapura.
Singapura, yang semula menjadi tujuan favorit penyimpanan kekayaan, kini kurang diminati seiring pengetatan aturan anti pencucian uang. Sebaliknya, negara-negara seperti Uni Emirat Arab menjadi destinasi alternatif melalui pembelian aset atas nama keluarga atau lewat perusahaan cangkang.
Para analis menilai kondisi ini bisa menimbulkan tekanan ganda pada perekonomian nasional. Arus keluar dana besar dari kalangan elite memperlemah nilai tukar, meningkatkan risiko gejolak sektor keuangan, dan memperlebar kesenjangan sosial, terlebih ketika masyarakat bawah sedang bergulat dengan inflasi dan ketidakpastian kerja.
Pemerintah dinilai perlu merespons dengan pendekatan strategis yang menekankan disiplin fiskal, kepastian hukum, dan iklim investasi yang kondusif agar arus modal tidak terus mengalir keluar.