Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Kamis, 13 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Orde Baru Jauh Lebih Baik

Demokrasi dipuja, tapi rakyat justru dibebani utang, korupsi, dan kriminalisasi yang makin merajalela.
Udex MundzirUdex Mundzir8 September 2025 Editorial
Perbandingan Orde Baru dan Era Jokowi
Ilustrasi era orde baru yang dipimpin Soeharto (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Membandingkan lintas-era selalu memicu debat panas. Namun, ketika kita menaruh data di meja, kontrasnya menjadi jelas. Orde Baru, dengan segala otoritarianismenya, menghadirkan stabilitas ekonomi dan pembangunan yang lebih terarah. Sementara dua periode Jokowi, meski dibungkus jargon demokrasi, justru meninggalkan beban besar: utang menumpuk, korupsi sistemik, dan demokrasi yang kian rapuh.

Era Soeharto mencatat pertumbuhan rata-rata 5–7 persen per tahun. Tingkat kemiskinan yang semula 45 persen berhasil ditekan menjadi 11 persen pada 1996. Sektor manufaktur tumbuh pesat, infrastruktur dasar dibangun, harga bahan pokok terkendali. Untuk rakyat kecil, itu berarti dapur bisa tetap mengepul.

Memang, KKN menjadi simbol Orde Baru. Represi politik pun nyata. Tetapi dari sisi ekonomi dan stabilitas sosial, rakyat merasakan manfaat langsung. Subsidi pendidikan, kesehatan, dan pembangunan desa tidak sekadar jargon, melainkan kebijakan nyata yang berdampak.

Bandingkan dengan Jokowi. Pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 4–5 persen, bahkan anjlok ke minus saat pandemi. Utang negara membengkak menjadi Rp8.500 triliun pada 2024, dengan kewajiban Rp1.350 triliun yang diwariskan ke pemerintahan baru. Infrastruktur memang masif, tetapi efisiensinya dipertanyakan. Apakah tol baru sepadan dengan beban fiskal yang mengikat anak cucu?

Era SBY membuktikan bahwa utang bisa ditekan. Dari rasio 56 persen terhadap PDB, utang dipangkas menjadi hanya 24 persen. Jokowi justru membalikkan arah dengan memperbesar beban fiskal, hingga ruang anggaran untuk kesejahteraan rakyat terkunci.

Lebih parah, korupsi di era Jokowi mencetak rekor. Skandal Chromebook Rp9,9 triliun, ekspor sawit Rp12 triliun, megakorupsi timah Rp300 triliun, hingga Pertamina Rp193 triliun. Kerugian ini melampaui APBN untuk pendidikan atau kesehatan. Bagaimana rakyat bisa percaya pembangunan bila uang negara habis digerogoti?

Menteri-menteri Jokowi ikut terseret. Juliari Batubara ditangkap karena korupsi bansos. Johnny G. Plate tersandung kasus BTS Rp8 triliun. Syahrul Yasin Limpo didakwa memeras hingga Rp44 miliar. Bahkan Nadiem Makarim terseret kasus Chromebook. Kabinet yang seharusnya bekerja untuk rakyat justru menjadi sarang korupsi.

Demokrasi pun kian redup. Amnesty International mencatat 203 kasus kriminalisasi kritik di periode pertama Jokowi, melonjak menjadi 328 serangan pada periode kedua dengan lebih dari 800 korban. Aktivis, mahasiswa, jurnalis, hingga pembela lingkungan dikriminalisasi menggunakan UU ITE. Kritik dipandang sebagai ancaman.

Pembungkaman tidak berhenti di situ. Aksi damai dibatasi, poster kritis dirampas, organisasi dibubarkan. FPI dilenyapkan lewat keputusan pemerintah, tokoh oposisi seperti Rizieq Shihab dijerat kasus hukum. Demokrasi yang katanya hidup, ternyata hanya prosedural. Substansinya mati.

Lebih buruk lagi, Jokowi cawe-cawe dalam pemilu. Netralitas presiden rusak. Arah koalisi diatur, dinasti politik dibiarkan tumbuh, dan pengaruhnya menekan kabinet Prabowo sejak hari pertama. Isu ijazah palsu yang tak kunjung tuntas menambah noda serius terhadap legitimasi kepemimpinan.

Kita perlu jujur: narasi buruk tentang Orde Baru kerap dijaga oleh para aktivis 1998 yang masih berkoar hingga hari ini. Mereka menuduh Orde Baru biang masalah, tetapi ketika memegang tampuk kekuasaan, nyatanya tidak memperbaiki keadaan. Justru demokrasi pascareformasi dipenuhi politik transaksional, pelemahan hukum, dan korupsi yang lebih brutal.

Ini ironi sejarah. Aktivis yang dulu menyerukan reformasi kini menjadi bagian dari lingkar kekuasaan, menikmati jabatan, atau diam melihat demokrasi dikorupsi. Rakyat kecil yang dulu dijanjikan perubahan, kini hanya menerima utang, harga mahal, cekikan pajak, dan kriminalisasi.

Jika dibandingkan, Orde Baru lebih jujur pada dirinya: otoriter tapi konsisten membangun. Era Jokowi menampilkan wajah ganda: demokrasi prosedural di permukaan, tapi represif dan penuh skandal di dalam. Demokrasi yang dijanjikan ternyata melahirkan tirani baru.

Bangsa ini tidak perlu kembali ke represi Orde Baru. Tetapi kita juga tidak bisa terus terjebak dalam demokrasi semu yang meninggalkan beban utang, skandal korupsi, dan politik dinasti. Demokrasi hanya layak dipertahankan bila melahirkan pemerintahan bersih, adil, dan berpihak pada rakyat.

Seruan reformasi gagal memenuhi janji. Dua periode Jokowi mencatat utang terbesar, korupsi terparah, dan kriminalisasi paling masif sejak reformasi. Jika para aktivis 98 hanya mampu mengulang slogan, sementara kondisi rakyat memburuk, maka wajar bila sebagian bangsa melihat Orde Baru lebih baik dalam menjaga arah pembangunan.

Demokrasi Indonesia Jokowi Korupsi Orde Baru Utang Negara
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticlePuncak Gerhana Bulan Total Terlihat 8 September 01.11 WIB
Next Article Reshuffle Kabinet, Prabowo Lantik Purbaya Gantikan Sri Mulyani

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Tantangan Representasi atau Simbolisme?

Editorial Alfi Salamah

Bayang Luhut di Tubuh Prabowo

Editorial Udex Mundzir

Temukan 3 Jam Produktif dalam Seharimu!

Daily Tips Assyifa

Menggali Kearifan Ramadan, Meningkatkan Akhlak dan Kepedulian

Islami Alfi Salamah

Bisnis Militer: Jalan Menuju Politik?

Editorial Udex Mundzir
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

KPK Cetak Quattrick di Riau, Empat Gubernur Tersandung Korupsi

PB XIII Hangabehi Wafat, Takhta Keraton Surakarta Tunggu Pewaris Resmi

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.