Jakarta – Kesalahan tampilan kurs rupiah di mesin pencarian Google pada Sabtu (1/2/2025) menarik perhatian publik dan pakar keamanan siber. Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, mengatakan ketergantungan masyarakat pada Google sebagai sumber informasi keuangan dapat berisiko jika data yang ditampilkan tidak akurat.
Pada pencarian Google, nilai tukar rupiah terhadap 1 dolar AS sempat tercatat Rp8.170,65, jauh di bawah nilai resmi yang dirilis Bank Indonesia (BI), yaitu Rp16.340,30 untuk kurs jual dan Rp16.177,70 untuk kurs beli.
“Kesalahan seperti ini bisa terjadi karena beberapa faktor, termasuk gangguan teknis, variasi sumber data, kesalahan input manusia, atau bahkan kemungkinan manipulasi sistem,” ujar Pratama dalam keterangannya, Sabtu (1/2/2025).
Menurutnya, Google mengandalkan algoritma untuk menarik data dari berbagai sumber eksternal, seperti lembaga keuangan, penyedia data ekonomi, dan pasar valuta asing. Jika terjadi gangguan teknis atau perbedaan pembaruan data, kurs yang ditampilkan bisa menjadi tidak akurat.
Ia juga menyoroti kemungkinan kesalahan input manusia dalam memasukkan data kurs. Jika tidak melewati proses verifikasi otomatis yang ketat, kesalahan ini bisa berdampak luas.
Kesalahan kurs yang berlangsung cukup lama tanpa koreksi dapat menimbulkan kebingungan, keresahan, hingga dampak finansial bagi masyarakat, pelaku bisnis, dan investor.
“Seorang eksportir yang menetapkan harga jual berdasarkan nilai tukar Google bisa mengalami kerugian besar jika angka tersebut ternyata salah,” ujar Pratama.
Selain itu, wisatawan atau pekerja migran yang ingin menukar uang mereka juga bisa salah perhitungan jika hanya mengandalkan informasi dari Google tanpa melakukan verifikasi ke sumber resmi seperti BI, Bloomberg, Reuters, atau OANDA.
Menurut Pratama, Google sebagai penyedia informasi seharusnya lebih bertanggung jawab dalam memastikan akurasi data yang ditampilkan.
“Jika kesalahan ini tidak segera diperbaiki, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyebaran informasi menyesatkan atau bahkan hoaks,” tegasnya.
BI sendiri telah mengklarifikasi bahwa kesalahan ini berasal dari pihak ketiga yang memasok data ke Google, dan bukan dari sistem resmi pemerintah Indonesia.
Sebagai langkah mitigasi, masyarakat diimbau untuk selalu melakukan verifikasi silang terhadap informasi keuangan sebelum mengambil keputusan yang berkaitan dengan transaksi internasional atau perdagangan valuta asing.