Masyarakat desa kini dihadapkan pada ironi yang kian nyata. Mereka seharusnya menikmati pembangunan dari berbagai kebijakan seperti Dana Desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Namun justru dibebani dengan pungutan-pungutan tambahan yang menekan.
Fenomena ini mengejutkan dan mengundang pertanyaan serius tentang transparansi, akuntabilitas, serta etika pejabat desa. Sering kali, pungutan tambahan disisipkan di balik berbagai program atau layanan publik, yang sayangnya dilakukan tanpa persetujuan yang jelas dari masyarakat.
Pemberlakuan Dana Desa yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan infrastruktur di pedesaan sebenarnya memiliki potensi besar. Pada tahun 2023 saja, pemerintah mengalokasikan lebih dari Rp72 triliun untuk Dana Desa di seluruh Indonesia. Tujuan mulia ini terancam oleh lemahnya pengawasan, sehingga membuka celah bagi praktik-praktik korupsi dan pungutan liar yang memberatkan warga.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) sebagai pengawas seharusnya memberikan perhatian lebih pada implementasi program dan mengevaluasi kinerja pemerintah desa yang sering kali minim transparansi.
Fenomena pungutan liar ini mengungkapkan salah satu kelemahan mendasar dalam sistem pengawasan desa, terutama pada peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Lembaga ini yang seharusnya menjadi wakil rakyat dalam mengawasi transparansi dan akuntabilitas pemerintahan desa kini mulai kehilangan fungsinya.
BPD bukan lagi Badan Permusyawaratan Desa yang melakukan musyawarah untuk memastikan kepentingan rakyat. Kini, BPD seolah berubah menjadi “Badan Persetujuan Desa,” yang hanya menyetujui apapun yang ditandatangani oleh kepala desa, bahkan jika kebijakan tersebut membebani warga.
Bukannya melindungi warga, BPD malah terkesan membiarkan berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Di sisi lain, lemahnya edukasi dan kesadaran masyarakat desa tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara semakin memperparah situasi ini. Ketika masyarakat merasa takut atau tidak memiliki akses informasi untuk memahami hak-hak mereka, mereka cenderung pasrah terhadap kebijakan yang merugikan, termasuk pungutan yang tak sesuai aturan.
Rendahnya partisipasi warga dalam forum musyawarah desa juga menjadi alasan utama mereka rentan dimanfaatkan oleh oknum pemerintah desa. Jika BPD tidak berfungsi, warga pun semakin kehilangan pengawas independen yang bisa memperjuangkan aspirasi mereka.
Praktik pungutan liar ini berdampak besar pada masyarakat. Ketidakpercayaan terhadap aparatur desa yang seharusnya mengayomi rakyat kini semakin besar, dan hal ini berpotensi menimbulkan perpecahan sosial di masyarakat desa.
Akibatnya, berbagai program pembangunan yang digulirkan pemerintah pusat atau daerah sulit berjalan lancar karena minimnya dukungan masyarakat yang merasa tertindas oleh kebijakan yang tidak adil dan tidak transparan.
Upaya untuk membenahi masalah ini membutuhkan langkah konkret dari berbagai pihak.
Pertama, pengawasan dan akuntabilitas pemerintah desa harus diperketat. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat harus melakukan audit secara berkala pada penggunaan Dana Desa dan memeriksa transparansi setiap pungutan yang diberlakukan.
Jika ditemukan pelanggaran, maka sanksi tegas perlu diterapkan guna memberikan efek jera.
Kedua, peran BPD harus difungsikan kembali sesuai dengan tugas utamanya sebagai pengawas pemerintahan desa dan sebagai wadah musyawarah rakyat. Peningkatan kapasitas dan independensi BPD perlu digalakkan, termasuk dengan edukasi dan pelatihan agar anggota BPD memahami fungsi dan kewenangan mereka.
Sudah saatnya anggota BPD memahami bahwa mereka adalah wakil dari kepentingan rakyat, bukan sekadar kepanjangan tangan kepala desa. Selain itu, forum musyawarah desa harus dilaksanakan secara rutin dan terbuka, memberikan ruang bagi warga untuk menyampaikan aspirasi dan mengawasi kinerja pemerintah desa secara langsung.
Ketiga, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat desa akan hak-hak mereka. Sosialisasi terkait pungutan resmi dan tidak resmi harus dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, sehingga warga tidak mudah dipermainkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat akan lebih berani mempertanyakan dan menolak pungutan liar yang memberatkan.
Pada akhirnya, mendorong integritas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan desa bukanlah perkara mudah, tetapi itu adalah langkah penting untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat, terutama mereka yang tinggal di pedesaan.
Desa adalah bagian integral dari negara, dan kesejahteraan warganya merupakan tanggung jawab bersama yang harus dipenuhi. Masyarakat desa memiliki hak untuk merasakan manfaat pembangunan tanpa tercekik oleh pungutan liar yang tidak berdasar.
Paradoks Dana Desa ini mencerminkan betapa kompleksnya perjuangan mewujudkan kesejahteraan di tingkat akar rumput. Sudah saatnya kebijakan yang pro-rakyat benar-benar berjalan dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat.
Memperbaiki kepercayaan warga desa kepada pemerintah tidak hanya sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga pondasi bagi keberhasilan pembangunan yang adil dan merata.