Pulau Sumba kini jadi magnet global. Dikenal sebagai alternatif eksklusif setelah Bali, Sumba semakin mencuri perhatian wisatawan dengan pesona alam yang masih asli, budaya terdalam, dan fasilitas eco-resort berkualitas tinggi.
Resor-resor mewah seperti NIHI Sumba bukan sekadar tempat menginap, melainkan destinasi tujuan itu sendiri. Terletak di tepi pantai berpasir putih dan laut biru jernih, NIHI menawarkan paket lengkap: penginapan ramah lingkungan, makanan lokal premium, serta aktivitas luar ruang seperti menunggang kuda di tepi pantai. Sebagai pionir eco‑resort, NIHI menunjukkan bahwa keberlanjutan bisa berpadu dengan kemewahan.
Kuda di Sumba bukan hanya simbol budaya, tetapi juga bagian dari pengalaman wisata unik. Tur berkuda di pantai senja memungkinkan pengunjung menyatu dengan lanskap, sambil menikmati matahari terbenam yang dramatis. Ada pula spa khusus dengan horse therapy, di mana interaksi lembut dengan kuda digunakan untuk relaksasi fisik dan mental — perpaduan terobosan antara wellness dan budaya lokal.
Fenomena ini tumbuh berdasarkan keunikan budaya Sumba: upacara adat, tarian khas, dan tenun ikat yang kaya warna. Banyak resor memfasilitasi tur ke desa-desa tradisional yang masih menjaga pola hidup leluhur. Wisatawan dapat menyaksikan langsung proses tenun ikat, berbincang dengan pengrajin, dan membeli hasil karya sebagai bentuk dukungan ekonomi langsung kepada masyarakat lokal.
Secara sosial dan ekonomi, pariwisata alternatif ini mendorong peningkatan pendapatan desa. Model community-based tourism menciptakan dampak positif: penginapan dikelola warga, katering makanan disuplai dari petani lokal, dan biaya kunjungan adat langsung masuk ke desa. Pendekatan ini lebih adil dibanding pariwisata massal.
Namun, tantangan juga nyata. Infrastruktur di beberapa kawasan masih minim, aksesibilitas terbatas, dan harga relatif tinggi menjadikan Sumba hanya dapat dijangkau segmen wisatawan berduit. Karena itu, masih perlu sinergi pemerintah, pengusaha, dan masyarakat untuk membangun infrastuktur dasar, seperti jalan dan transportasi, tanpa menghilangkan karakter asli pulau.
Layaknya Bali di era sebelum oversaturasi, Sumba memiliki potensi besar. Agar tetap eksklusif dan lestari, regulasi ketat diperlukan. Misalnya, kuota wisatawan per lokasi, standar operasional eco-resort yang jelas, pengelolaan sampah organik dan plastik, serta sertifikasi wisata budaya. Ini semua menjaga ekosistem alam dan sosial agar tak terdegradasi.
Di ranah wellness, integrasi terapi alam dan budaya bisa dikembangkan. Selain yoga di pantai atau spa kuda, Sumba bisa menawarkan paket retreat holistik yang menggabungkan meditasi tradisional, mandi lumpur alami, dan konsumsi pangan etnik berbasis herbal lokal. Hal ini akan memperkaya variasi dan daya tarik destinasi secara memikat.
Selain itu, promosi harus lebih strategis dan pintar. Digital marketing melalui perjalanan influencer wellness, liputan travel vlog, dan media internasional sangat efektif. Namun perlu diimbangi edukasi tentang etika berkunjung: berpakaian sopan dalam tradisi adat, menjaga kebersihan pantai, serta menghormati ritual lokal. Ini akan menjaga citra Sumba agar tetap berkualitas dan berkelanjutan.
Pengembangan juga harus memperhatikan aspek sosial: keberhasilan ekonomi harus dirasakan merata. Revitalisasi desa wisata, pelatihan pemandu lokal, dan pembentukan UMKM mini tourism (kerajinan, kuliner) adalah langkah strategis. Sekaligus menjaga keunikan budaya yang menjadi akar daya tarik Sumba.
Sumba saat ini menunjukkan bahwa ada cara lain untuk menikmati keindahan alam dan budaya secara eksklusif tanpa mengorbankan kelestarian. Resor-resor ramah lingkungan, wisata menunggang kuda di pantai, spa berbasis hewan, budaya tradisional, dan keramahan masyarakat setempat telah membuka babak baru pariwisata berkualitas.
Sumba bukan hanya destinasi pengganti Bali, tetapi surga eksotis yang memadukan alam, budaya, dan wellness dalam harmoni yang berkelanjutan. Ini adalah perjalanan wisata kelas atas yang cerdas dan bermakna.