Jakarta – Di sebuah kafe kecil yang dingin oleh hembusan pendingin ruangan, ironi zaman terasa nyata.Musik instrumental mengalun lembut, sementara di depan meja kasir seorang perempuan paruh baya tampak mengernyitkan dahi.
Stiker kode batang QRIS menempel rapi di etalase kayu, seolah menjadi simbol perubahan yang tak bisa ditawar. Di tangan Saras, 51 tahun, ponsel pintar terasa seperti bahasa asing yang belum sepenuhnya ia kuasai.
Kisah Saras menggambarkan bagaimana perubahan sistem pembayaran di Indonesia berjalan begitu cepat. Ia sebenarnya tidak menolak teknologi. Namun, ritme perubahannya terasa terlalu deras.
Uang tunai yang selama puluhan tahun menjadi alat transaksi paling ia pahami kini perlahan tersisih. Ketika kafe atau toko tidak lagi menerima pembayaran cash, ia kerap merasa serba salah, bahkan terpojok oleh situasi.
“Saya sudah pernah sih bayar pakai scan begini, diajarin anak,” katanya pelan sambil tersenyum kikuk. “Tapi namanya umur, kadang lupa juga. Kalau tidak terima tunai, mau tidak mau minta bantuan.”
Pengalaman Saras berbanding terbalik dengan Juan, 25 tahun, seorang karyawan swasta yang hampir tak pernah membawa uang fisik. Baginya, ponsel adalah dompet utama. QRIS bukan lagi inovasi, melainkan kebiasaan sehari-hari.
Dari kedai kopi hingga pedagang kaki lima, ia terbiasa memindai kode lalu selesai dalam hitungan detik.
“Lebih praktis. Sekarang apa-apa tinggal scan,” ujarnya. Meski demikian, ketergantungan pada sistem digital juga pernah menyulitkannya. Ia mengisahkan pernah kebingungan saat harus membayar parkir yang hanya menerima uang tunai, sementara dompetnya kosong.
“Waktu itu harus transfer ke pedagang dulu baru ditukarin uang. Ribet juga cari ATM,” kenangnya.
Dua pengalaman tersebut mencerminkan jurang kecil yang makin terasa di tengah masifnya digitalisasi pembayaran. Data dari Bank Indonesia per pertengahan 2025 menunjukkan bahwa pengguna QRIS masih didominasi generasi muda.
Kelompok Gen Z tercatat mencapai lebih dari 75 juta pengguna, disusul generasi milenial sekitar 69 juta orang. Di sisi lain, jumlah merchant QRIS telah menembus 38 juta, dengan total pengguna sekitar 57 juta di seluruh Indonesia. Mesin EDC nontunai pun mencapai sekitar 2,3 juta unit.
Angka-angka tersebut menegaskan bahwa QRIS kini telah menjadi arus utama transaksi. Namun, pertumbuhan statistik tidak selalu sejalan dengan kesiapan sosial. Tidak semua orang tumbuh bersama layar sentuh dan aplikasi dompet digital.
Bagi sebagian masyarakat, terutama generasi yang lebih tua, uang tunai bukan sekadar alat bayar, melainkan rasa aman dan kendali.
Ke depan, QRIS hampir pasti terus berkembang dan menjadi wajah transaksi masa depan Indonesia. Meski begitu, uang tunai masih menyimpan peran penting, terutama bagi kelompok yang membutuhkan adaptasi lebih panjang.
Di antara layar ponsel dan lembaran rupiah, ada proses belajar, penyesuaian, dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Pada akhirnya, teknologi yang baik bukan hanya soal kecepatan dan efisiensi. Ia juga harus memiliki ruang untuk merangkul semua generasi, tanpa meninggalkan mereka yang berjalan sedikit lebih lambat dari laju perubahan.
