Viral tidak selalu datang dari kejutan. Kadang justru lahir dari skenario yang dirancang, dipoles, lalu disebar dengan pola yang presisi. Kasus antara Ridwan Kamil dan Lisa Mariana, yang meledak di media sosial sejak akhir Maret 2025, menunjukkan bagaimana manajemen isu pribadi bisa berubah menjadi alat produksi opini publik secara masif.
Data science menelanjangi skemanya. Berdasarkan analisis tim @oyusep dan @kawaldata, grafik mentions kasus ini melonjak tajam dari 27 Maret hingga 2 April, lalu sempat turun, sebelum kembali meroket pada 11 April—persis saat Lisa Mariana menggelar konferensi pers. Fenomena ini disebut pola “Viral + Rebound”, strategi digital klasik untuk menghidupkan isu lebih lama dengan momentum yang sengaja dipilih.
Angka-angka menunjukkan tren. Puncak pertama mencapai lebih dari 19.000 mentions dalam sehari. Ketika mulai redup, klarifikasi dilempar, dan gelombang kedua membuncah hingga 12.000 lebih. Dalam jagat media sosial yang gaduh, angka sebesar itu mustahil terjadi secara spontan, apalagi untuk isu personal tanpa pengaruh struktural.
Publik tak sedang menyaksikan drama. Mereka sedang dijadikan audiens dari narasi yang dikendalikan.
Jika ini murni kasus hukum atau konflik rumah tangga, maka emosi dominan seharusnya adalah sedih, cemas, atau prihatin. Tapi data menunjukkan dominasi emosi marah dan netral. Artinya, audiens tidak bergerak karena empati, melainkan karena terpancing atau bahkan ikut bercanda.
Inilah cara kerja kampanye digital hari ini: pancing reaksi, dorong massa, dan ulangi dengan narasi baru. Saat emosi terkumpul, mereka mudah digiring ke mana saja.
Kasus RK vs Lisa tak lagi bisa dilihat sebagai gosip selebritas atau skandal elite lokal. Ia telah menjelma jadi eksperimen sosial tentang bagaimana algoritma dan strategi komunikasi bisa membentuk percakapan nasional. Opini publik bukan lagi hasil refleksi sosial, tapi hasil produksi algoritma.
Dan kita semua menjadi konsumen setianya.
Yang perlu ditanyakan adalah: siapa yang bermain? Siapa yang diuntungkan? Dan apa yang sebenarnya coba dialihkan dari perhatian publik?
Apakah ini pengalihan dari isu ekonomi? Dari kegagalan program pemerintah? Atau sekadar manuver internal untuk menggoyang posisi politik?
Kita tak sedang mencari pembenaran atau menyalahkan satu pihak. Kita sedang mempersoalkan metode. Dalam negara demokrasi, strategi politik boleh dilakukan. Tapi jika dilakukan dengan mengorbankan akal sehat publik dan mempermainkan ruang digital, maka itu bukan strategi, itu manipulasi.
Apalagi jika dilakukan oleh atau demi tokoh politik aktif yang digadang-gadang naik panggung lebih tinggi.
Pola ini berbahaya jika dibiarkan. Sebab ia bisa jadi template: ambil satu isu personal, buat viral, kendalikan grafik, tunggu gelombang kedua, lalu tutupi semua isu serius dengan satu drama digital.
RK vs Lisa hanyalah satu episode. Tapi dampaknya melampaui keduanya. Yang dipertaruhkan bukan reputasi personal, tapi ketahanan nalar publik. Jika setiap opini publik bisa digiring semudah itu, maka demokrasi hanya jadi ilusi, dan kebenaran tinggal narasi yang kalah populer.