Keputusan pemerintah untuk menetapkan anggaran makan bergizi gratis (MBG) menjadi Rp10.000 per anak per hari memicu diskusi hangat. Sementara sebelumnya anggaran ini tersiar Rp15.000, kebijakan ini merupakan sebagai kompromi atas keterbatasan fiskal, tetapi pertanyaan besar muncul: apakah angka ini cukup untuk memenuhi standar gizi yang layak?
Penyesuaian anggaran ini berubah setelah pemerintah juga mengumumkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025. Presiden Prabowo Subianto yang menyampaikan kebijakan ini, menegaskan bahwa meski Rp10.000 terdengar kecil, nilai tersebut tetap bisa memberikan makanan yang bergizi. Namun, apa implikasinya bagi kualitas hidup anak-anak, terutama mereka yang tinggal di daerah dengan harga bahan makanan tinggi?
Dalam praktiknya, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana menjelaskan bahwa anggaran Rp15.000 sebenarnya masih menjadi acuan dalam APBN. Namun fleksibilitas tetap perlu untuk menyesuaikan perbedaan harga bahan makanan di tiap daerah. Kelebihan anggaran dari daerah yang relatif murah akan dialokasikan ke daerah dengan kebutuhan lebih besar.
Namun, fleksibilitas ini menyisakan celah. Bagaimana memastikan bahwa anak-anak di seluruh Indonesia menerima hak gizi yang setara? Dengan harga makanan di banyak daerah yang terus meningkat, angka Rp10.000 menjadi sangat menantang untuk menghasilkan menu seimbang dengan protein, sayur, dan buah.
Di daerah Jakarta dan sekitarnya, contoh menu dengan anggaran Rp10.000 mungkin mencakup nasi, lauk seperti telur, tahu, atau potongan kecil ayam, serta satu atau dua jenis sayur. Namun, proporsi makanan seperti ayam cenderung kecil—seekor ayam utuh harus teralokasikan menjadi 15 bagian. Untuk ikan, opsi seperti kembung kecil atau kepala ikan menjadi pilihan realistis. Sementara di daerah lain seperti Sleman, menu serupa dengan porsi lebih murah masih memungkinkan.
Keputusan ini tidak hanya berdampak pada angka makro seperti efisiensi anggaran, tetapi juga pada aspek sosial dan budaya. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, dan di Indonesia, budaya makan bersama menjadi simbol kehangatan keluarga dan kesejahteraan sosial. Menurunkan standar makanan untuk anak-anak, bahkan jika dalam angka, dapat mencerminkan prioritas pemerintah terhadap generasi masa depan.
Dari sisi hukum, kebijakan ini harus dilihat dalam kerangka hak anak atas pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk gizi. Undang-Undang Perlindungan Anak dan berbagai regulasi internasional yang diratifikasi oleh Indonesia menegaskan pentingnya akses makanan bergizi sebagai bagian dari hak asasi. Mengurangi anggaran ini, meskipun dalam konteks keterbatasan fiskal, dapat menjadi pertanyaan moral bagi pemerintah.
Solusi realistis untuk menjaga standar gizi meski dengan anggaran terbatas adalah dengan mendorong efisiensi logistik dan pengadaan bahan makanan. Pemerintah bisa bekerja sama dengan koperasi lokal atau petani untuk memasok bahan makanan langsung ke dapur umum atau sekolah, mengurangi biaya distribusi dan perantara.
Selain itu, pendidikan gizi juga menjadi kunci. Menu bergizi tidak selalu harus mahal jika masyarakat tahu cara mengoptimalkan bahan pangan lokal. Program ini bisa melibatkan PKK atau komunitas lokal untuk mendukung penyuluhan.
Di sisi anggaran, pemerintah bisa mempertimbangkan skema subsidi silang lebih transparan, di mana daerah dengan kondisi fiskal lebih kuat membantu daerah dengan harga makanan lebih mahal. Sistem ini memerlukan koordinasi intensif, tetapi bisa menjadi solusi jangka panjang.
Menurunkan anggaran MBG menjadi Rp10.000 adalah langkah yang dapat menjadi maklum dalam situasi ekonomi yang sulit. Tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk menurunkan standar gizi anak-anak Indonesia. Kompromi ini harus sejalan dengan upaya nyata untuk memastikan bahwa setiap rupiah memberikan manfaat maksimal.
Masa depan bangsa bergantung pada generasi mudanya. Keputusan hari ini akan mencerminkan apa yang menjadi prioritas bagi pemerintah dan masyarakat. Jika investasi pada anak-anak tidak menjadi prioritas, maka apakah kita benar-benar mempersiapkan generasi penerus yang lebih kuat dan sehat?