Indonesia sedang jatuh cinta pada kecerdasan buatan. Peluncuran Sahabat AI, model bahasa besar buatan Indosat dan GoTo, disambut dengan euforia.
Model ini diklaim paling canggih untuk Bahasa Indonesia. Disebut mengungguli LLaMA dari Meta dan model dari Tiongkok.
Pemerintah menyambutnya penuh kebanggaan. Menteri Kominfo menyebutnya sebagai alat pemersatu. Teknologi yang tumbuh dari konteks Indonesia.
Namun di balik pujian itu, ada satu pertanyaan besar. Apakah ini sungguh milik publik, atau hanya milik para konglomerat?
Sahabat AI dikembangkan dua raksasa korporasi. Infrastruktur penyimpanan berada di dalam negeri. Parameter model mencapai 70 miliar.
Terdengar menjanjikan. Tapi siapa yang mengontrolnya? Siapa yang menentukan ke mana arah model ini dibawa?
Jika benar model ini dibuat untuk rakyat, mengapa distribusinya tertutup? Mengapa hanya bisa diakses lewat aplikasi layanan keuangan?
Kedaulatan digital tidak diukur dari lokasi server. Tapi dari siapa yang memiliki akses. Siapa yang bisa mengembangkan. Dan siapa yang diuntungkan.
Model ini disebut dapat digunakan oleh startup, universitas, dan lembaga publik. Namun tidak ada jaminan teknis soal lisensi terbuka atau akses setara.
Apakah startup kecil bisa melatih ulang model ini? Apakah komunitas bisa mengaudit datanya? Apakah masyarakat sipil dilibatkan?
Tanpa itu semua, Sahabat AI hanya jadi etalase. Tampak lokal, tapi tetap elitis.
Indonesia memang butuh model bahasa lokal. Kita tidak bisa terus bergantung pada teknologi asing yang tak paham budaya sendiri.
Namun kebutuhan itu tidak bisa menjadi pembenaran atas konsolidasi kuasa oleh segelintir pemain besar.
Salah satu petinggi perusahaan menyebut model ini lahir dari gotong royong. Ia menyebut kampus dan media ikut terlibat.
Tapi gotong royong seperti apa yang tidak terbuka? Seperti apa kolaborasi yang hanya menguntungkan satu arah?
Di lapangan, teknologi seperti ini masih sangat dikendalikan dari atas. Korporasi membentuk narasi. Pemerintah ikut promosi. Publik hanya menjadi pengguna pasif.
Bahaya lebih besar pun mengintai. AI bukan alat netral. Ia membawa nilai. Membawa bias. Membawa kepentingan mereka yang mengendalikannya.
Tanpa transparansi, kita tak tahu apakah model ini benar-benar merepresentasikan masyarakat Indonesia. Atau justru membentuk ulang masyarakat sesuai selera pemilik modal.
Bahasa daerah memang disebut didukung. Tapi tidak dijelaskan bagaimana mereka dikumpulkan. Siapa yang melatihnya. Atau apakah komunitas bahasa dilibatkan.
Jangan sampai ini hanya jadi hiasan. Penambahan kata “Batak” atau “Jawa” bukan bukti keberpihakan.
Kita sedang berada di titik kritis. Teknologi AI bisa mempercepat kemajuan. Tapi juga bisa memperkuat ketimpangan.
Jika kita tidak mengatur arah sejak awal, kita hanya akan mengganti penjajahan digital asing dengan penjajahan digital lokal.
Solusinya bukan sekadar membuat model. Tapi membuka akses. Membuka kode. Membuka diskusi.
Pemerintah harus memastikan bahwa teknologi yang dibiayai atau didukung negara dapat diakses masyarakat luas.
Model-model seperti Sahabat AI harus tersedia untuk publik. Dengan dokumentasi jelas. Dengan mekanisme audit. Dan dengan kontrol sosial.
Literasi AI juga harus dibangun. Bukan sekadar pelatihan teknis. Tapi kesadaran kritis bahwa teknologi membawa dampak sosial.
Kita harus bertanya. Siapa yang diuntungkan. Siapa yang dikorbankan. Siapa yang diberi suara. Siapa yang dilupakan.
Sahabat AI adalah langkah awal. Tapi belum cukup.
Kedaulatan digital sejati bukan tentang label lokal. Tapi tentang kepemilikan kolektif. Akses terbuka. Partisipasi nyata.
Dan itu hanya bisa terjadi jika rakyat benar-benar dilibatkan. Bukan hanya disebut.