Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Lepaskan Ketegangan, Raih Kedamaian

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Kamis, 23 Oktober 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Selamat Tinggal Agustus Kelabu: Tinggalkan Joget-joget di Istana

Ketika upacara sakral berubah jadi pesta joget, makna kemerdekaan perlahan tergerus oleh gimmick politik.
Udex MundzirUdex Mundzir1 September 2025 Editorial
Hut ri
Pelaksanaan upacara kemerdekaan HUT RI ke-80 di Istana Negara (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Selamat tinggal Agustus 2025 dengan jejak muramnya. Upacara peringatan kemerdekaan yang seharusnya menjadi momen reflektif bagi bangsa, justru dipenuhi atraksi joget dan hiburan. Istana Merdeka lebih menyerupai panggung konser rakyat ketimbang arena sakral mengenang proklamasi. Apa yang seharusnya menjadi ritus kenegaraan berubah menjadi tontonan instan.

Fenomena ini bukan tiba-tiba muncul. Jejaknya bisa ditarik sejak era Presiden Joko Widodo. Jokowi kerap menghadiri upacara dengan pakaian adat dari berbagai daerah. Tujuannya disebut untuk mengangkat budaya nusantara, tetapi perlahan peringatan kemerdekaan kehilangan nuansa formalnya. Gestur simbolik yang awalnya bermakna, berkembang menjadi ajang pencitraan.

Tahun 2019, Jokowi tampil dengan pakaian adat Dayak, lalu 2020 dengan busana adat Timor Tengah Selatan. Publik sempat terpesona, tetapi juga muncul kritik. Upacara kenegaraan yang biasanya penuh keseriusan, mulai dipenuhi gimmick visual. Dari sini, garis batas antara sakralitas dan hiburan semakin kabur.

Perubahan makin terasa pada 2023 dan 2024. Di sela upacara, acara hiburan dimasukkan sebagai bagian dari rangkaian. Penyanyi dangdut diundang, lagu populer seperti “Ojo Dibandingke” dan “Rungkad” dibawakan di Istana. Para pejabat, tamu, dan bahkan Presiden ikut berjoget. Potongan video itu viral di media sosial. Apa yang dulu dianggap tidak pantas, kini dianggap wajar.

Di titik itu, Indonesia menyaksikan pergeseran budaya politik. Upacara yang harusnya khidmat justru direduksi menjadi pesta euforia. Alih-alih hening mengenang pengorbanan para pahlawan, rakyat disuguhi tarian bersama. Keheningan digantikan tepuk tangan, doa digantikan hiburan.

Tahun 2025, ketika Presiden Prabowo memimpin, pola ini berlanjut. Bahkan lebih jauh. Istana kembali menggelar hiburan, kali ini lewat tarian Pacu Jalur yang viral di media sosial. Para penari muda membawakan gerakan ritmis yang riuh, dengan tambahan gimmick “aura farming” yang sempat menjadi bahan pembicaraan publik. Alih-alih semakin khidmat, suasana upacara kembali gaduh.

Tidak ada yang salah dengan merayakan keberagaman budaya. Tidak ada yang salah pula dengan kegembiraan rakyat. Namun, perayaan kenegaraan punya pakemnya sendiri.

Upacara kemerdekaan bukan panggung hiburan, melainkan ritual bersama untuk menghormati sejarah. Jika terus dicampur dengan joget dan tarian populer, khidmatnya akan hilang, digantikan komedi panggung.

Bagi sebagian orang, suasana itu dianggap “merakyat.” Tetapi bagi banyak lainnya, ini terasa sebagai pelecehan simbolik. Bayangkan bagaimana keluarga pejuang kemerdekaan menyaksikan. Mereka yang kehilangan nyawa di medan perang tidak pernah membayangkan perjuangan mereka akan diperingati dengan goyangan dangdut di Istana.

Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana politik kita semakin terjebak dalam logika hiburan. Elite memanfaatkan panggung kenegaraan untuk pencitraan. Jokowi menampilkan diri dengan pakaian adat, berharap simbol budaya memperkuat citra inklusif. Prabowo membiarkan tarian viral masuk ke upacara, mungkin demi menunjukkan bahwa ia dekat dengan generasi muda. Tetapi di balik itu, substansi menguap.

Perayaan kemerdekaan seharusnya memberi ruang kontemplasi. Ia bukan sekadar selebrasi, tetapi pengingat bahwa kemerdekaan tidak datang gratis. Setiap detik hening dalam upacara adalah penghormatan kepada mereka yang rela mati demi merah putih.

Namun kini, hening itu jarang kita temukan. Tergantikan riuh musik dan langkah joget.

Secara budaya, ini adalah kemunduran. Upacara nasional adalah ritual sakral, bukan pesta. Budaya joget di Istana menandakan bahwa bangsa ini kian permisif terhadap pelecehan simbol negara. Apa jadinya bila generasi muda tumbuh dengan menganggap peringatan kemerdekaan hanyalah ajang hiburan? Apakah mereka masih akan menghormati nilai perjuangan?

Secara politik, fenomena ini berbahaya. Ketika upacara sakral berubah jadi panggung pencitraan, rakyat semakin sinis terhadap elite. Mereka melihat pemerintah lebih sibuk menghibur ketimbang mengurus persoalan serius. Kesakralan upacara runtuh, dan legitimasi pemimpin ikut terkikis.

Secara sosial, ini memperkuat jarak. Rakyat kecil yang sedang bergulat dengan harga beras, ongkos hidup, dan PHK, menyaksikan pejabat bergembira di Istana dengan tarian populer. Alih-alih solidaritas, yang lahir adalah ironi. Rakyat menderita, elite berjoget.

Maka, kritik terhadap fenomena ini bukanlah soal anti-budaya. Bukan pula soal alergi kegembiraan. Kritik ini lahir karena ada perbedaan mendasar antara ruang hiburan dan ruang sakral. Ruang hiburan boleh diisi dengan joget dan tarian. Tetapi ruang sakral, terutama upacara kemerdekaan, seharusnya dijaga dari kontaminasi euforia instan.

Solusi harus segera ditempuh. Pertama, Presiden perlu mengembalikan pakem upacara kemerdekaan sebagai ritual khidmat. Hiburan bisa ada, tetapi di luar upacara inti. Jangan mencampuradukkan doa proklamasi dengan joget massal. Kedua, Kementerian Sekretariat Negara harus menyusun standar protokoler yang tegas: mana yang bagian sakral, mana yang selebrasi rakyat.

Ketiga, elite politik perlu menahan diri. Panggung kenegaraan bukan panggung pencitraan. Simbol-simbol negara harus dihormati, bukan dijadikan latar pencitraan budaya pop. Jika elite ingin tampil dekat dengan rakyat, lakukan di ruang yang tepat. Jangan mengorbankan kesakralan upacara demi popularitas singkat.

Keempat, masyarakat sipil dan media harus terus mengawasi. Jangan larut dalam euforia, apalagi ikut mengglorifikasi momen joget di Istana. Media harus berani mengingatkan publik bahwa ada garis batas antara hiburan dan penghormatan. Jika tidak, upacara kemerdekaan akan semakin kehilangan makna.

Agustus 2025 telah menjadi catatan kelabu. Apa yang seharusnya menjadi refleksi justru berubah menjadi tontonan. Apa yang seharusnya mengundang doa justru berubah menjadi joget bersama. Dan apa yang seharusnya meneguhkan martabat bangsa justru menurunkannya ke level hiburan murahan.

Bangsa ini tidak boleh membiarkan sakralitas dikorbankan. Peringatan kemerdekaan bukan milik Presiden, bukan milik pemerintah, bukan pula milik elite. Ia milik seluruh rakyat Indonesia, dan harus dijaga dari reduksi yang melecehkan. Jika tidak, kita akan kehilangan bukan hanya rasa hormat, tetapi juga jati diri.

Ironinya, budaya joget tidak hanya merasuki Istana, tetapi juga gedung parlemen. Pada sidang paripurna DPR-MPR Agustus 2025, sejumlah anggota dewan terekam berjoget di ruang sidang saat rakyat menjerit oleh krisis.

Potongan-potongan videonya viral, menjadi bahan ejekan, sekaligus bara amarah. Dari sinilah gelombang demo anarkis meletus, berujung ricuh dan anarkis di penghujung bulan. Agustus 2025 pun ditutup dengan wajah muram: sakralitas kenegaraan hilang, digantikan ironi elite yang berjoget di atas penderitaan rakyat.

Agustus Kelabu Joget DPR Joget Istana Reformasi Budaya Politik Upacara Kemerdekaan
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleIsu yang Dibelokkan, Aparat yang Gagal
Next Article Rakyat Terluka

Informasi lainnya

Waspadai, Purbaya Anak Buah Luhut

9 September 2025

Bersih-Bersih Kabinet Prabowo Dimulai

9 September 2025

Orde Baru Jauh Lebih Baik

8 September 2025

Jokowi, Mengapa Masih Ikut Campur?

4 September 2025

Mengakhiri Bayang Jokowi

4 September 2025

Isu yang Dibelokkan, Aparat yang Gagal

1 September 2025
Paling Sering Dibaca

Ulang Tahun Google ke-25 Tahun: Perjalanan Singkat dan Inovasi Saat Ini

Gagasan Ericka

Keunikan Sapaan Akrab Laki-Laki di Indonesia

Happy Udex Mundzir

Tips dan Perlengkapan Mendaki Gunung Rinjani bagi Pemula

Travel Alfi Salamah

Jurnalisme di Bawah Bayang Algoritma

Editorial Udex Mundzir

Daniel Kahneman: Akhir Tragis Seorang Peraih Nobel

Profil Ericka
Berita Lainnya
Kesehatan
Alfi Salamah23 Oktober 2025

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Kasus Radiasi Cikande Masuk Tahap Penyidikan, PT PMT Dianggap Lalai

Trump Resmikan Fase Dua Kesepakatan Gencatan Gaza

Menkeu Purbaya Pertimbangkan Pemangkasan PPN Tahun 2026

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.