Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Kamis, 13 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Sepertinya Prabowo Tak Akan Berani Pecat Bahlil

Ketegasan yang hanya lantang di podium tak akan mengubah wajah kabinet jika keberanian berhenti di batas kepentingan politik.
Udex MundzirUdex Mundzir6 Februari 2025 Editorial
Reshuffle Kabinet Merah Putih Prabowo 2025
Reshuffle Kabinet Merah Putih Prabowo 2025 (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Prabowo Subianto menggebrak panggung politik dengan pernyataan keras soal kemungkinan reshuffle Kabinet Merah Putih. Ia menegaskan akan menyingkirkan menteri yang tidak bekerja untuk rakyat, sebuah narasi yang diulang berkali-kali oleh banyak presiden sebelumnya.

Namun, di balik retorika tegas itu, muncul satu pertanyaan besar: benarkah Prabowo cukup berani untuk memecat menteri seperti Bahlil Lahadalia, yang belakangan menjadi sorotan karena blunder kebijakan publik?

Bahlil bukan sekadar menteri biasa. Ia adalah sosok politikus yang piawai memainkan peran strategis, bukan hanya di ranah kebijakan ekonomi, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan kekuatan politik di lingkaran Istana. Sebagai Menteri ESDM, Bahlil terlibat dalam sejumlah kebijakan kontroversial, seperti kisruh distribusi LPG 3 kg yang menyulut keresahan masyarakat.

Setelah menciptakan kebijakan yang membatasi penjualan gas melon di pengecer dan menyebabkan kelangkaan di berbagai daerah, Bahlil justru tampil sebagai “penyelamat” dengan mencabut kebijakan tersebut, seolah-olah ia adalah solusi dari masalah yang ia ciptakan sendiri.

Yang menarik, bahkan figur setangguh Mayor Teddy—yang biasanya dikenal dengan sikap vokalnya dalam menyoroti isu-isu strategis pemerintahan—terlihat tidak segarang biasanya dalam menanggapi manuver Bahlil.

Kesan itu menimbulkan dugaan bahwa Bahlil memiliki “imunitas politik” yang cukup kuat, sehingga tidak sembarang kritik bisa diarahkan kepadanya tanpa konsekuensi. Ini berbeda dengan kasus-kasus lain, di mana pejabat yang kurang memiliki jaringan politik yang solid lebih mudah menjadi sasaran kritik tajam.

Bandingkan dengan kasus Miftah, seorang pejabat setingkat lebih rendah yang berani-beraninya hanya saat menghadapi sosok lemah seperti penjual teh di sebuah pasar tradisional, dalam sebuah insiden yang sempat viral. Ketegasan semu seperti ini menunjukkan betapa keberanian di birokrasi sering kali bersifat selektif—garang kepada mereka yang tak punya kuasa, tetapi tumpul ketika berhadapan dengan pejabat yang punya jaringan politik kuat seperti Bahlil.

Di negara dengan tradisi politik transaksional yang kuat, reshuffle kabinet bukan semata soal evaluasi kinerja. Lebih dari itu, reshuffle adalah kalkulasi politik yang penuh dengan pertimbangan soal loyalitas, jaringan kekuasaan, dan stabilitas pemerintahan.

Prabowo tentu paham bahwa memecat Bahlil bisa memicu turbulensi politik di internal koalisi pemerintah. Bahlil memiliki hubungan kuat dengan jaringan pengusaha dan politisi, menjadikannya bukan hanya menteri teknis, tetapi juga “aset politik” dalam menjaga harmoni di lingkar kekuasaan.

Pernyataan Prabowo tentang “pembersihan” kabinet terdengar tegas, tetapi tanpa keberanian untuk menindak tegas menteri-menteri yang jelas-jelas membuat blunder, semua itu hanyalah gimik politik. Apalagi, Prabowo sendiri adalah figur yang sangat memahami seni kompromi.

Ia adalah politisi yang mampu merangkul lawan politiknya, seperti yang ia tunjukkan saat bergabung dalam kabinet Jokowi usai Pilpres 2019. Dengan pengalaman itu, kecil kemungkinan Prabowo akan membuat langkah radikal yang bisa mengganggu keseimbangan politik yang telah ia bangun dengan susah payah.

Reshuffle kabinet yang efektif seharusnya didasarkan pada evaluasi objektif terhadap kinerja menteri, bukan semata-mata pertimbangan politik. Namun, dalam realitas politik Indonesia, evaluasi itu sering kali menjadi topeng untuk merombak susunan kekuasaan tanpa benar-benar memperbaiki tata kelola pemerintahan.

Menteri yang dipecat bukan selalu yang gagal bekerja, melainkan yang gagal menjaga harmoni politik di lingkaran elit. Sebaliknya, mereka yang memiliki “aset politik” kuat sering kali tetap bertahan, meski kinerjanya dipertanyakan publik.

Publik tentu berharap Prabowo tidak terjebak dalam pola lama ini. Jika benar ingin menunjukkan ketegasan, reshuffle kabinet harus menyasar menteri-menteri yang terbukti gagal mengelola kebijakan publik dengan baik.

Bahlil, dengan segala kontroversinya, adalah contoh yang paling relevan saat ini. Namun, melihat bagaimana Prabowo membangun jaringan kekuasaan yang penuh kompromi, sulit membayangkan ia akan mengambil risiko politik sebesar itu.

Di balik semua retorika keras tentang “pembersihan kabinet”, Prabowo tampaknya lebih tertarik menjaga stabilitas politik daripada melakukan reformasi birokrasi yang sesungguhnya. Ini bisa dimaklumi, mengingat tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini sangat kompleks, mulai dari persoalan ekonomi, ketahanan energi, hingga dinamika politik internasional.

Namun, jika reshuffle hanya menjadi ajang rotasi kekuasaan tanpa perubahan signifikan dalam tata kelola, maka publik berhak meragukan komitmen Prabowo terhadap reformasi yang ia janjikan.

Pada akhirnya, reshuffle bukan hanya soal siapa yang dipecat atau dipertahankan. Ini adalah cermin dari keberanian politik seorang pemimpin. Jika Prabowo benar-benar ingin menunjukkan bahwa ia berbeda dari pendahulunya, maka reshuffle harus menjadi momentum untuk membuktikan bahwa kepentingan rakyat lebih penting daripada kalkulasi politik.

Namun, jika reshuffle hanya menjadi panggung untuk retorika kosong tanpa aksi nyata, maka kita semua tahu jawabannya: Prabowo tak akan berani pecat Bahlil.

Evaluasi Menteri Kabinet Merah Putih Politik Indonesia Prabowo Subianto Reshuffle Kabinet
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticlePolitik Sengketa, Demokrasi yang Tercederai
Next Article Rudy Mas’ud-Seno Aji Resmi Ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim 2025-2030

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Dato Sri Tahir: Purbaya Sosok Tepat Atasi Tantangan Ekonomi Nasional

11 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Negara Diam, Judi Online Merajalela

Editorial Udex Mundzir

Hari Dongeng Nasional 28 November

Happy Udex Mundzir

Cokelat! Lezat, Kaya Manfaat, dan Penuh Fakta Menarik

Food Alfi Salamah

PKS dan Strategi Politik yang Memukul Balik

Editorial Udex Mundzir

APBS Siapkan Santri Jadi Pengusaha Tangguh

Bisnis Ericka
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

KPK Cetak Quattrick di Riau, Empat Gubernur Tersandung Korupsi

PB XIII Hangabehi Wafat, Takhta Keraton Surakarta Tunggu Pewaris Resmi

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.