Dalam ranah politik, kejelasan sikap adalah elemen mendasar yang menandai kredibilitas sebuah partai. Namun, PDI Perjuangan (PDIP) tampak berada dalam posisi yang tidak tegas. Mereka memilih untuk tidak bergabung dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto, tetapi juga menolak disebut sebagai oposisi. Sikap ini bukan hanya membingungkan, tetapi juga memunculkan kritik terhadap kredibilitas mereka sebagai partai besar.
Keputusan ini berbeda dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, PDIP tegas berada di barisan oposisi, mengkritisi kebijakan pemerintah dengan lantang. Kini, hubungan baik antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto disebut menjadi alasan utama PDIP memilih “jalur tengah”. Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah bahkan menyebut bahwa sikap ini berlandaskan nilai gotong royong dalam Pancasila.
Namun, apakah ini sejalan dengan prinsip demokrasi? Oposisi bukanlah bentuk permusuhan, melainkan mekanisme check and balance yang efektif. Dalam konteks ini, sikap PDIP yang tidak tegas berpotensi melemahkan demokrasi itu sendiri.
Sikap abu-abu ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah langkah ini adalah strategi untuk menjaga pengaruh politik, atau sekadar cara untuk menghindari tanggung jawab?
Langkah PDIP ini dapat dilihat sebagai bentuk pragmatisme politik. Dengan tidak bergabung di kabinet, mereka dapat menghindari beban politik yang menyertai koalisi. Namun, dengan menolak disebut oposisi, mereka juga menjaga hubungan baik dengan pemerintahan Prabowo.
Namun, fleksibilitas ini memiliki konsekuensi besar. Survei terbaru Litbang Kompas menunjukkan bahwa 65% masyarakat Indonesia menginginkan partai politik yang tegas dalam mengambil sikap. Ketidakjelasan PDIP ini dapat memengaruhi persepsi publik terhadap mereka sebagai partai yang tidak konsisten dan hanya mementingkan strategi jangka pendek.
Secara politik, langkah ini mungkin terlihat cerdas untuk menjaga posisi PDIP di kancah nasional. Namun, sikap ini berpotensi melemahkan kepercayaan publik. Di sisi lain, absennya PDIP sebagai oposisi yang tegas juga meninggalkan kekosongan dalam sistem demokrasi.
Dari perspektif sosial, masyarakat membutuhkan kejelasan sikap dari partai besar seperti PDIP. Ketika partai terbesar di parlemen menunjukkan sikap ambivalen, mereka kehilangan peran signifikan sebagai penjaga demokrasi.
Secara ekonomi, dampak dari sikap ini juga nyata. Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah dapat kehilangan kritik konstruktif dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Padahal, Indonesia tengah menghadapi tantangan berat, seperti inflasi tinggi, ketimpangan sosial, dan risiko resesi global. Dalam situasi ini, peran oposisi yang berani mengkritisi pemerintah sangat dibutuhkan.
PDIP perlu mengambil langkah konkret untuk keluar dari dilema ini. Jika mereka ingin menjadi mitra kritis pemerintah tanpa bergabung di kabinet, maka posisi tersebut harus disampaikan secara terbuka. Transparansi sikap ini krusial untuk membangun kembali kepercayaan publik.
Selain itu, PDIP juga harus menunjukkan komitmen nyata dalam peran mereka sebagai mitra kritis. Mereka perlu mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan visi pembangunan nasional, sambil mendukung kebijakan yang membawa manfaat bagi rakyat.
Peningkatan komunikasi politik kepada masyarakat juga menjadi kunci. Alasan di balik keputusan mereka harus disampaikan dengan jelas dan lugas, sehingga masyarakat dapat memahami konteks dan tujuan dari sikap tersebut.
Sikap abu-abu PDIP saat ini mencerminkan tantangan besar dalam politik modern: bagaimana menjaga fleksibilitas tanpa kehilangan kepercayaan publik. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang tegas dan transparansi yang kokoh. Jika PDIP ingin tetap relevan dan dipercaya, mereka harus segera menentukan arah yang jelas. Tanpa itu, mereka berisiko menjadi partai besar tanpa arah, kehilangan peran strategisnya dalam membangun bangsa.