Sistem penerimaan murid baru berubah—dari PPDB menjadi SPMB. Pemerintah beralasan perubahan ini untuk meningkatkan keadilan dan pemerataan akses pendidikan. Namun, publik bertanya: apakah ini solusi konkret atau sekadar penggantian nama untuk menutupi masalah lama yang tak kunjung terselesaikan?
Sejak diberlakukan pada 2017, sistem zonasi dalam PPDB memang menuai kritik. Tujuan awalnya adalah pemerataan kualitas pendidikan, tetapi dalam praktiknya banyak terjadi penyimpangan. Manipulasi domisili, pungutan liar, dan jalur belakang menjadi keluhan tahunan. KPK bahkan melaporkan 21,31% sekolah melakukan pungutan liar, dan 38,77% menerima titipan anak pejabat. Alih-alih mengatasi ketimpangan, zonasi justru memperburuknya: siswa dari keluarga mampu bisa “membeli” akses, sementara yang kurang mampu sering kali tersisih.
Kini, sistem baru diperkenalkan dengan perubahan utama berupa empat jalur penerimaan: domisili, afirmasi, mutasi, dan prestasi. Konsep zonasi diubah menjadi “domisili” dengan harapan menghilangkan stigma negatif. Namun, jika esensinya tetap berbasis jarak, apakah ini benar-benar solusi atau hanya pergantian istilah?
Jalur afirmasi, yang diperuntukkan bagi siswa miskin dan penyandang disabilitas, dijanjikan mendapat kuota lebih besar. Namun, tanpa mekanisme validasi yang ketat, ini bisa menjadi celah baru bagi manipulasi data. Kasus piagam kejuaraan palsu dan kartu keluarga fiktif di PPDB 2024 seharusnya menjadi peringatan.
Di jalur prestasi, ada tambahan kriteria kepemimpinan, seperti pengurus OSIS atau Pramuka. Ini menarik, tetapi perlu dipertanyakan: bagaimana standar penilaiannya? Apakah semua sekolah memiliki parameter yang sama? Tanpa aturan jelas, hal ini bisa menambah potensi subjektivitas dan ketidakadilan dalam seleksi.
Masalah utama bukan hanya sistemnya, melainkan kurangnya pengawasan dan pemerataan kualitas sekolah. Di banyak daerah, sekolah negeri masih dianggap superior dibandingkan swasta. Pemerintah seharusnya fokus meningkatkan standar sekolah di semua wilayah, bukan sekadar merombak aturan penerimaan siswa.
Pemerintah juga perlu menindak tegas praktik suap dan kecurangan dalam penerimaan siswa baru. Tanpa mekanisme transparan dan sanksi tegas, kebijakan sebaik apa pun hanya akan jadi formalitas. Selain itu, digitalisasi sistem seleksi perlu diperkuat agar lebih transparan dan bebas intervensi.
SPMB akan diuji efektivitasnya pada tahun ajaran baru. Jika hanya perubahan kosmetik tanpa solusi nyata terhadap akar masalah, maka reformasi ini tidak lebih dari rebranding kebijakan lama. Pendidikan berkualitas harus menjadi hak semua anak Indonesia, bukan sekadar hak istimewa bagi mereka yang bisa mengakali sistem.