Putusan pengadilan adalah perintah negara. Jika seseorang telah divonis bersalah secara hukum dan putusannya berkekuatan tetap, maka eksekusi adalah kewajiban yang tak bisa ditunda. Namun dalam kasus Silfester Matutina, prinsip itu seperti tak berlaku.
Terpidana yang divonis 1,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung sejak tahun 2019 itu masih bebas berkeliaran. Ia muncul di berbagai media, aktif berbicara soal politik nasional seakan tak memiliki beban hukum.
Silfester bukan orang biasa. Ia dikenal sebagai relawan Jokowi, pembela vokal kekuasaan, dan publik figur yang sering tampil dalam berbagai forum nasional.
Namun justru karena status dan relasinya itu, publik melihat ada yang janggal. Bagaimana mungkin seorang yang telah divonis oleh pengadilan tertinggi bisa tetap bebas selama enam tahun tanpa dieksekusi?
Kritik keras terhadap hal ini disampaikan oleh Mahfud MD dalam siaran podcast-nya. Ia mempertanyakan mengapa kejaksaan diam, padahal putusan sudah inkrah.
Menurut Mahfud, dalam hukum pidana tidak dikenal istilah damai antara pelaku dan korban. Pelaku tindak pidana adalah musuh negara, bukan sekadar lawan dari korban pribadi.
Bahkan jika Jusuf Kalla sebagai korban telah menyatakan memaafkan, hal itu tidak membatalkan kewajiban negara untuk mengeksekusi putusan hukum yang sudah final.
Mahfud juga menggarisbawahi bahwa kejaksaan memiliki unit khusus bernama Tim Tangkap Buronan. Tim ini terbukti berhasil menangkap banyak buronan lama dalam kasus lain.
Ia menyebut beberapa nama yang buron lebih dari 10 tahun tapi akhirnya berhasil ditangkap. Karena itu, ketidakmampuan atau keengganan Kejaksaan untuk menangkap Silfester dinilai bukan karena keterbatasan teknis.
Ketidaktindakan itu dilihat sebagai adanya kekuatan di balik layar yang melindungi. Situasi ini bukan hanya memalukan dari sisi penegakan hukum, tapi juga memperlihatkan betapa mudahnya hukum tunduk kepada kekuasaan politik.
Bila seorang terpidana seperti Silfester tidak dieksekusi hanya karena pernah menjadi bagian dari lingkaran istana, maka seluruh sistem hukum kehilangan makna.
Penundaan eksekusi selama enam tahun terhadap seorang yang secara hukum telah terbukti bersalah adalah preseden buruk. Ini merusak wibawa negara dan mempermalukan hukum itu sendiri.
Sementara itu, publik menyaksikan ketimpangan yang tajam. Rakyat kecil bisa langsung diproses hanya karena unggahan media sosial.
Seorang ibu rumah tangga bisa dipenjara karena mencuri sandal. Seorang aktivis bisa dihukum karena menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
Di sisi lain, tokoh-tokoh yang dekat dengan kekuasaan justru tampak kebal terhadap hukum. Ketika aparat penegak hukum bersikap selektif, keadilan menjadi barang langka.
Inilah yang membuat banyak orang merasa bahwa hukum di negeri ini tidak lagi berdiri di atas asas persamaan di depan hukum. Hukum dijalankan berdasarkan kedekatan dengan kekuasaan.
Ketidakadilan ini melukai rasa keadilan masyarakat. Warga negara yang patuh terhadap hukum merasa dihina oleh sistem yang melindungi pelanggar hukum karena relasi politik.
Ketika warga biasa melihat hukum tidak ditegakkan terhadap orang kuat, mereka kehilangan kepercayaan terhadap sistem peradilan. Ketidakpercayaan itu adalah masalah serius bagi negara hukum.
Jika hukum tidak dipercaya, masyarakat akan mulai mencari keadilan dengan caranya sendiri. Ketika hukum tidak lagi dianggap sebagai jalan penyelesaian, yang muncul adalah pembangkangan sosial.
Dan ketika ketidakpercayaan itu meluas, negara akan menghadapi krisis legitimasi. Pemerintah hari ini tidak bisa terus diam melihat situasi seperti ini.
Presiden harus memastikan bahwa Kejaksaan menjalankan tugasnya secara profesional dan independen. Jaksa Agung harus bertindak tegas terhadap bawahannya yang membiarkan putusan pengadilan diabaikan.
Tidak cukup hanya memanggil Silfester. Eksekusi harus dilakukan, tanpa negosiasi, tanpa kompromi.
Silfester bisa saja mengajukan remisi kelak. Ia berhak atas itu sebagai bagian dari hak terpidana.
Tetapi hak itu baru bisa digunakan setelah ia menjalani sebagian hukuman. Selama belum dieksekusi, semua wacana tentang remisi adalah ilusi hukum yang menipu publik.
Editorial ini ingin menegaskan bahwa ini bukan soal membenci individu. Ini adalah soal menjaga marwah hukum dan menjaga akal sehat publik.
Tidak ada bangsa yang bisa berdiri kokoh di atas hukum yang dipermainkan. Tidak ada negara yang kuat jika lembaga penegak hukumnya tunduk pada tekanan politik.
Jika Kejaksaan masih menganggap dirinya lembaga hukum, maka saatnya membuktikan independensinya. Jika negara masih ingin dipercaya rakyatnya, maka eksekusi atas putusan Mahkamah Agung terhadap Silfester Matutina harus dilakukan segera.
Jangan biarkan orang-orang berpikir bahwa menjadi dekat dengan kekuasaan berarti bebas dari hukum. Jangan biarkan publik menyimpulkan bahwa hukum hanyalah alat untuk menindas yang lemah dan melindungi yang kuat.
Karena jika kesimpulan itu tertanam dalam benak rakyat, maka kepercayaan yang rusak tidak bisa diperbaiki hanya dengan pernyataan atau klarifikasi. Yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan nyata.