Jakarta – “Ini jangan jadi momentum untuk pesta pora para koruptor.” Kalimat tegas itu dilontarkan Yudi Pramono, mantan penyidik KPK, menanggapi disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dinilai membatasi kewenangan lembaga antirasuah tersebut.
Undang-undang baru yang disahkan pada Senin (24/2/2025) itu menuai sorotan tajam, terutama pada dua pasal yang dianggap melemahkan posisi KPK dalam memberantas korupsi di lingkungan BUMN.
Pasal 3X ayat (1) menyatakan bahwa “Organ dan pegawai badan bukan merupakan penyelenggara negara,” dan Pasal 9G menyebutkan bahwa “Anggota direksi dewan komisaris dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”
Padahal, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU KPK, lembaga tersebut berwenang menangani kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, serta kerugian negara di atas Rp1 miliar.
Dengan dikecualikannya pejabat BUMN dari kategori penyelenggara negara, kewenangan KPK otomatis menjadi terbatas.
Dalam diskusi Trijaya Hot Topic, Yudi menyatakan bahwa perubahan tersebut berpotensi memberi ruang aman bagi elite BUMN yang terlibat praktik rasuah.
Ia juga mengingatkan bahwa secara historis, BUMN telah beberapa kali menjadi ladang korupsi, dari kasus PT LPEI hingga skandal di Telkom Indonesia.
“Kalau semangat pemberantasan korupsi tak dijaga, ini bisa jadi preseden buruk. Banyak celah yang bisa dimanfaatkan,” kata Yudi.
Ia pun mendesak agar ketentuan ini tidak dimaknai sebagai bentuk kekebalan hukum, sebab aparat penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian masih dapat bertindak.
Lebih jauh, Yudi juga menyoroti inkonsistensi antara UU BUMN yang baru dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN.
Dalam regulasi itu, pejabat BUMN secara eksplisit masuk dalam kategori penyelenggara negara, yang seharusnya tunduk pada mekanisme pengawasan yang ketat, termasuk oleh KPK.
Menteri BUMN Erick Thohir pun angkat bicara, menegaskan bahwa tidak ada niatan pemerintah untuk melemahkan pemberantasan korupsi.
“Pelaku korupsi tetap bisa ditindak. Kami akan libatkan KPK sebagai pengawas internal,” ujarnya.
Namun wacana ini mengundang kontroversi, mengingat posisi KPK seharusnya independen dan tidak menjadi bagian dari struktur internal kementerian.
Sejumlah aktivis antikorupsi dan akademisi telah mulai menyerukan judicial review terhadap pasal-pasal dalam UU BUMN 2025 yang dianggap bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Mereka khawatir jika ketentuan ini dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam melawan korupsi akan semakin terkikis.
Dengan masih berjalannya sejumlah penyidikan KPK terhadap kasus BUMN seperti di PT Taspen dan PGN, polemik ini akan terus memantik perdebatan sengit antara pelindung integritas hukum dan perumus kebijakan.