Gagasan kontroversial kembali mencuat ke ruang publik. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyarankan agar penerima bantuan sosial (bansos) wajib menjalani vasektomi.
Tujuannya adalah menekan angka kelahiran di kalangan miskin. Argumennya, jika tidak mampu membiayai anak, maka jangan menambah anak.
Sekilas terdengar masuk akal. Namun, wacana ini menyimpan bias kelas dan menimbulkan persoalan moral, hukum, dan sosial yang serius.
Vasektomi adalah prosedur medis permanen yang memutus saluran sperma pada pria. Akibatnya, seseorang kehilangan kemampuan untuk memiliki anak.
Dalam konteks program Keluarga Berencana (KB), vasektomi bukan metode pengaturan kelahiran biasa. Ia adalah pengakhiran potensi kehidupan secara permanen.
Ketika prosedur ini dijadikan syarat bansos, maka itu bukan lagi pilihan medis, melainkan bentuk pemaksaan atas kelompok yang paling lemah secara ekonomi.
Dalam Islam, menjaga keturunan (hifzh al-nasl) adalah satu dari lima tujuan utama syariat (maqashid syari’ah). Hak untuk memiliki anak adalah bagian dari martabat manusia.
Islam membolehkan perencanaan keluarga, namun hanya jika dilakukan secara sukarela, bersifat sementara, dan tidak menghilangkan fungsi reproduksi secara permanen.
Mayoritas ulama, termasuk dari mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki, menyatakan bahwa vasektomi tanpa alasan medis yang darurat hukumnya haram. Ini ditegaskan dalam berbagai kitab fikih utama.
Fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami (OKI) juga menyatakan bahwa sterilisasi permanen hanya dibolehkan jika ada kondisi medis yang sangat mendesak dan dipastikan oleh tenaga medis yang terpercaya.
Al-Qur’an juga menolak narasi yang menyalahkan anak atau keturunan sebagai penyebab kemiskinan.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu.” (QS. Al-Isra: 31).
Ayat itu tidak hanya melarang pembunuhan fisik, tapi juga penolakan terhadap kehidupan baru karena alasan ekonomi. Rezeki adalah wewenang Allah, bukan ditentukan oleh negara.
Lebih dari itu, menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos melanggar konstitusi. Pasal 28B UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.
Ketika hak ini dicabut karena status ekonomi, negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Secara sosiologis, pendekatan ini juga keliru. Kemiskinan bukan disebabkan oleh jumlah anak, melainkan oleh sistem sosial-ekonomi yang timpang dan kebijakan yang tidak adil.
Jika orang miskin dibatasi jumlah anaknya, sementara orang kaya dibiarkan memiliki anak sebanyak mungkin, maka yang terjadi adalah reproduksi ketimpangan sosial.
Wacana ini justru menjadikan orang miskin sebagai objek kebijakan represif, bukan subjek yang harus dilindungi dan diberdayakan.
Islam menolak pendekatan diskriminatif terhadap kaum miskin. Mereka adalah kelompok yang secara tegas disebut dalam Al-Qur’an sebagai penerima hak sosial seperti zakat dan sedekah.
Allah berfirman, “Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir dan miskin…” (QS. At-Taubah: 60). Ini menunjukkan bahwa mereka harus dibantu, bukan dipersulit.
Bansos dalam Islam tidak pernah bersifat transaksional. Tidak ada syarat yang menghilangkan hak dasar manusia untuk mendapatkan bantuan.
Bila negara menjadikan kondisi tubuh sebagai syarat bantuan, maka yang terjadi adalah eksploitasi atas kemiskinan itu sendiri.
Solusi kemiskinan tidak bisa disederhanakan menjadi soal jumlah anak. Akar masalahnya adalah ketimpangan, rendahnya akses pendidikan, dan lemahnya pemberdayaan ekonomi keluarga.
Pemerintah seharusnya berinvestasi pada pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang merata, dan penciptaan lapangan kerja yang adil.
Data Oxfam 2024 menunjukkan, kekayaan satu persen orang terkaya di Indonesia terus meningkat drastis. Sementara kelompok terbawah justru makin terpuruk.
Realitas ini membuktikan bahwa persoalan utamanya bukan pada jumlah anak, tapi pada ketidakadilan dalam distribusi kekayaan.
Vasektomi sebagai syarat bansos juga berpotensi menabrak nilai-nilai budaya lokal. Banyak komunitas di Indonesia menganggap keluarga besar sebagai kekuatan sosial dan ekonomi.
Jika negara memaksakan intervensi atas tubuh warga dengan dalih efisiensi kebijakan, maka yang muncul bukan kepercayaan, tapi resistensi sosial yang membahayakan stabilitas jangka panjang.
Islam menawarkan solusi yang lebih bijak dan manusiawi. KB boleh dilakukan, tapi dengan kesadaran penuh, bukan tekanan ekonomi.
Metode seperti pil, suntik, atau IUD diperbolehkan karena sifatnya tidak permanen. Sedangkan vasektomi, yang bersifat final, hanya dibolehkan dalam kondisi medis tertentu.
Islam juga mendorong tanggung jawab dalam berkeluarga. Tapi tanggung jawab itu tumbuh dari pemahaman dan pendidikan, bukan dari pemaksaan atau ketakutan akan miskin.
Nabi Muhammad SAW pernah menolak permintaan sahabatnya yang ingin mengebiri diri agar tidak punya anak. Dalam hadis sahih disebutkan, “Seandainya beliau mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini menjadi bukti bahwa Islam menolak penghilangan fungsi reproduksi secara sadar, apalagi atas alasan ekonomi semata.
Wacana vasektomi wajib tidak memiliki pijakan moral, hukum, maupun agama. Ia harus dihentikan sebelum menjadi preseden kebijakan yang diskriminatif dan merusak prinsip keadilan sosial.
Negara tidak boleh mencabut hak warga atas tubuh dan masa depannya hanya karena ia miskin.
Islam menempatkan kemiskinan sebagai kondisi yang harus diangkat, bukan dijadikan alasan untuk menghilangkan hak asasi.
Kebijakan publik harus berpihak pada pemberdayaan, bukan pemaksaan. Keadilan hanya bisa tercapai bila negara hadir melindungi, bukan menekan.