Kalimantan Timur (Kaltim) telah beberapa kali dinobatkan sebagai salah satu provinsi dengan Indeks Kebebasan Pers terbaik di Indonesia. Prestasi ini dianggap mencerminkan ekosistem media yang sehat, independen, dan kritis. Namun, di balik capaian tersebut, kebijakan baru berupa Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pengelolaan media komunikasi publik justru mengancam esensi kebebasan pers itu sendiri.
Pergub yang ditandatangani oleh Penjabat Gubernur Akmal Malik ini mengatur bahwa pemerintah daerah hanya akan bekerja sama dengan media yang terverifikasi Dewan Pers. Kebijakan ini mengklasifikasikan media menjadi tiga kategori: Grade A untuk media terverifikasi faktual, Grade B untuk media terverifikasi administrasi, dan Grade C untuk media yang sedang dalam proses verifikasi.
Menurut Kepala Diskominfo Kaltim, Muhammad Faisal, regulasi ini bertujuan menata industri media agar lebih profesional dan memberikan perlindungan kepada wartawan.
Namun, alih-alih memperkuat kebebasan pers, regulasi ini justru membuka ruang bagi monopoli informasi dan melemahkan keberagaman suara. Media independen yang belum terverifikasi, meskipun memiliki rekam jejak pemberitaan yang tajam dan relevan, terancam kehilangan akses kerja sama dengan pemerintah.
Sebaliknya, media yang telah terverifikasi, meski tidak selalu memiliki kualitas jurnalistik yang baik, diuntungkan oleh kebijakan ini. Banyak kritik menunjukkan bahwa sebagian besar media terverifikasi sering kali hanya memuat rilis pemerintah tanpa analisis kritis.
Fenomena ini mengarah pada paradoks. Indeks Kebebasan Pers yang tinggi seharusnya mencerminkan ruang ekspresi yang luas bagi media. Namun, dengan kebijakan ini, kebebasan tersebut malah digunakan untuk menciptakan sentralisasi informasi.
Diskominfo sebagai pengelola anggaran media memiliki kendali penuh atas distribusi dana, membuka peluang nepotisme dan korupsi. Media kecil yang selama ini menjadi suara masyarakat marginal pun terancam terpinggirkan.
Ketergantungan pemerintah pada status verifikasi Dewan Pers juga menimbulkan pertanyaan besar. Apakah verifikasi benar-benar digunakan untuk menjamin profesionalisme media, atau hanya sebagai alat legitimasi untuk menentukan siapa yang boleh mendapat akses pendanaan publik? Jika dibiarkan, pola seperti ini hanya akan memperburuk kontrol pemerintah terhadap media, mengubahnya menjadi alat propaganda alih-alih pilar demokrasi.
Kalimantan Timur, sebagai salah satu daerah strategis dengan keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN), membutuhkan media yang berani dan independen. Media harus menjadi pengawas utama dalam mengawal transparansi anggaran pembangunan dan memastikan pemerintah bertanggung jawab kepada publik. Namun, kebijakan seperti ini justru melemahkan fungsi tersebut, mengancam peran media sebagai penjaga demokrasi.
Regulasi ini juga menempatkan Dewan Pers dalam sorotan. Ketergantungan pada lembaga ini untuk menentukan status media menciptakan risiko keberpihakan dan konflik kepentingan. Apakah Dewan Pers masih berdiri independen, atau mulai terkooptasi oleh kepentingan politik tertentu?
Audit independen terhadap proses verifikasi Dewan Pers harus segera dilakukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas lembaga tersebut.
Untuk mengatasi persoalan ini, beberapa langkah mendesak perlu diambil. Pertama, pemerintah Kalimantan Timur harus segera merevisi Pergub ini. Kerja sama media seharusnya tidak hanya didasarkan pada status administratif, tetapi juga pada kualitas jurnalistik dan dampaknya bagi masyarakat.
Kedua, anggaran kerja sama media perlu didesentralisasi. Instansi lain selain Diskominfo harus diberi kewenangan untuk menjalin relasi media, sehingga distribusi dana menjadi lebih adil dan transparan. Dengan cara ini, media kecil tetap memiliki kesempatan untuk bersaing secara sehat.
Ketiga, proses verifikasi media harus lebih inklusif. Media independen yang belum terverifikasi tetapi memiliki rekam jejak baik harus diberi peluang untuk bekerja sama. Verifikasi formal tidak boleh menjadi alat eksklusif yang hanya menguntungkan segelintir media tertentu.
Keempat, masyarakat perlu didorong untuk menjadi konsumen berita yang kritis. Dengan meningkatnya literasi media, tekanan terhadap pemerintah dan media untuk lebih transparan akan semakin besar. Langkah ini akan membantu menciptakan ekosistem media yang lebih sehat dan independen.
Kesimpulannya, kebijakan ini adalah contoh nyata bagaimana regulasi yang tidak berpijak pada prinsip demokrasi dapat mengancam kebebasan pers. Semakin tinggi Indeks Kebebasan Pers, seharusnya semakin besar pula ruang untuk independensi media, bukan sebaliknya. Jika tidak segera diperbaiki, regulasi ini hanya akan memperburuk monopoli informasi dan menggerus fungsi kontrol publik terhadap kekuasaan.