Jakarta – Nama Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) kembali muncul dalam daftar finalis tokoh terkorup versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), setelah sempat tidak ditemukan pada Kamis (2/1/2025). Perubahan ini menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat terkait kredibilitas laporan OCCRP.
Nama Jokowi sebelumnya muncul bersama empat tokoh lain seba togai finalis “Corrupt Person of the Year” versi OCCRP, sebelum dinobatkan kepada Presiden Suriah Bashar al-Assad. Pada Kamis malam, saat dicari menggunakan kata kunci “Joko Widodo” atau “Jokowi,” situs OCCRP tidak menampilkan hasil apapun. Namun, Jumat pagi, nama Jokowi terlihat kembali dalam daftar yang berada di sayap kanan artikel utama.
Jokowi sendiri menanggapi dengan santai kabar tersebut. “Hehehe ya terkorup, korup apa? Yang dikorupsi apa? Ya dibuktikan, apa?” ujar Jokowi di Solo, Jawa Tengah, Selasa (31/12/2024). Ia menambahkan bahwa tuduhan tanpa bukti adalah bentuk framing jahat yang marak terjadi saat ini.
Menurut laporan OCCRP, para tokoh yang masuk daftar dianggap memiliki peran besar dalam melanggar hak asasi manusia, memanipulasi pemilu, dan mengeksploitasi sumber daya alam, yang pada akhirnya menciptakan konflik di negara mereka. Selain Jokowi, tokoh lain yang masuk nominasi adalah Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan PM Bangladesh Sheikh Hasina, dan pebisnis India Gautam Adani.
OCCRP belum memberikan penjelasan resmi terkait hilang dan munculnya kembali nama Jokowi dalam daftar tersebut. Namun, kontroversi ini membuat sejumlah media yang awalnya memberitakan hilangnya nama Jokowi menjadi sasaran kritik warganet.
Dalam siaran persnya, OCCRP menegaskan pentingnya perhatian pada korupsi yang dilakukan pemerintah, terutama yang memicu ketidakstabilan negara. Di sisi lain, Jokowi menilai tuduhan tersebut sebagai bagian dari upaya pihak tertentu yang memanfaatkan berbagai cara, termasuk lembaga non-pemerintah, untuk melakukan framing negatif.
“Saya hanya bisa mengajak masyarakat untuk bijak dan kritis. Tuduhan seperti ini harus dihadapi dengan fakta dan bukan sekadar opini,” ujar Jokowi.
Meski demikian, kontroversi ini telah membuka diskusi publik mengenai transparansi dan akuntabilitas, tidak hanya bagi pemimpin negara tetapi juga lembaga internasional seperti OCCRP.
