Jakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah mendapat sorotan dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ketua Umum Asosiasi Industri UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorini, menilai syarat yang ditetapkan untuk menjadi mitra MBG terlalu berat dan tidak sesuai dengan kondisi mayoritas pelaku usaha kecil.
“Syarat yang ditetapkan sangat tidak mudah bagi pelaku usaha mikro. Kalau pun ada yang berhasil lolos, itu seperti memaksakan kemampuan mereka,” ujar Hermawati, Jumat (17/01/2025).
Salah satu syarat utama yang dianggap memberatkan adalah keharusan menyetor deposit sebesar Rp300 juta kepada Badan Gizi Nasional (BGN). Selain itu, mitra harus memiliki dapur dengan luas minimal 20 x 20 meter.
“Banyak pelaku usaha mikro yang rumahnya saja tidak seluas itu. Bagaimana mereka bisa menyediakan dapur sebesar itu?” kata Hermawati.
Tidak hanya itu, calon mitra MBG juga diwajibkan menanggung biaya produksi makanan sendiri sebelum mendapat pembayaran dari pemerintah. Biaya tersebut mencakup pembelian bahan baku, operasional dapur, hingga distribusi makanan ke sekolah-sekolah atau institusi penerima manfaat.
Pemerintah menetapkan harga satu porsi makanan sebesar Rp10 ribu, dengan target produksi 3.000 hingga 3.500 porsi per hari. Ini berarti mitra MBG harus menyiapkan modal sekitar Rp40 juta per hari untuk produksi. Jika dihitung dalam satu bulan (26 hari kerja), dana yang dibutuhkan bisa mencapai Rp1,04 miliar.
“Itu baru biaya produksi harian, belum termasuk pengadaan alat masak, peralatan makan, serta kendaraan untuk pendistribusian makanan. Jika tidak memiliki modal besar, rasanya mustahil bagi UMKM kecil untuk bertahan,” jelas Hermawati.
Selain syarat ketat, pelaku UMKM juga mempertanyakan sistem pembayaran dalam program ini. Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan kepastian apakah pembayaran akan dilakukan mingguan, bulanan, atau bahkan tiga bulan sekali.
“Jangan sampai mitra yang sudah keluar banyak uang justru kesulitan menerima pembayaran dari pemerintah. Tanpa kepastian jadwal pembayaran, banyak UMKM yang akhirnya memilih mundur dari program ini,” tambahnya.
Dari berbagai laporan, beberapa mitra MBG di beberapa daerah mengaku mengalami keterlambatan pembayaran. Akibatnya, mereka harus berutang untuk menutupi biaya operasional.
Hermawati juga mempertanyakan apakah pemerintah benar-benar memiliki anggaran yang cukup untuk membayar seluruh mitra MBG tepat waktu. Pasalnya, besarnya jumlah uang yang harus dikeluarkan membuat UMKM kecil tidak mampu bertahan lama jika pembayaran dari pemerintah terlambat.
“Jika pemerintah ingin melibatkan UMKM dalam program MBG, sebaiknya ada mekanisme dukungan keuangan yang lebih fleksibel. Misalnya, sistem pembayaran di muka atau skema subsidi yang lebih ringan,” katanya.
Karena berbagai kendala tersebut, banyak pelaku UMKM memilih mundur atau tidak mendaftar sama sekali sebagai mitra MBG. Mereka merasa program ini lebih menguntungkan usaha besar yang memiliki modal besar dibandingkan UMKM kecil yang masih berkembang.
Menurut catatan Akumandiri, sekitar 60% UMKM yang awalnya tertarik mengikuti program ini akhirnya mengundurkan diri setelah mengetahui persyaratan dan mekanisme keuangan yang harus dipenuhi.
“UMKM pada dasarnya ingin membantu program pemerintah, tetapi kalau persyaratannya terlalu berat, kami jadi sulit untuk berpartisipasi. Harus ada solusi konkret agar program ini bisa berjalan dengan baik tanpa membebani mitra,” tutup Hermawati.
Dengan berbagai tantangan yang ada, para pelaku UMKM berharap pemerintah dapat mengevaluasi kembali syarat dan sistem pembayaran MBG agar program ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas tanpa memberatkan mitra penyedia makanan.