Prabowo Subianto menggebrak panggung politik dengan pernyataan keras soal kemungkinan reshuffle Kabinet Merah Putih. Ia menegaskan akan menyingkirkan menteri yang tidak bekerja untuk rakyat, sebuah narasi yang diulang berkali-kali oleh banyak presiden sebelumnya.
Namun, di balik retorika tegas itu, muncul satu pertanyaan besar: benarkah Prabowo cukup berani untuk memecat menteri seperti Bahlil Lahadalia, yang belakangan menjadi sorotan karena blunder kebijakan publik?
Bahlil bukan sekadar menteri biasa. Ia adalah sosok politikus yang piawai memainkan peran strategis, bukan hanya di ranah kebijakan ekonomi, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan kekuatan politik di lingkaran Istana. Sebagai Menteri ESDM, Bahlil terlibat dalam sejumlah kebijakan kontroversial, seperti kisruh distribusi LPG 3 kg yang menyulut keresahan masyarakat.
Setelah menciptakan kebijakan yang membatasi penjualan gas melon di pengecer dan menyebabkan kelangkaan di berbagai daerah, Bahlil justru tampil sebagai “penyelamat” dengan mencabut kebijakan tersebut, seolah-olah ia adalah solusi dari masalah yang ia ciptakan sendiri.
Yang menarik, bahkan figur setangguh Mayor Teddy—yang biasanya dikenal dengan sikap vokalnya dalam menyoroti isu-isu strategis pemerintahan—terlihat tidak segarang biasanya dalam menanggapi manuver Bahlil.
Kesan itu menimbulkan dugaan bahwa Bahlil memiliki “imunitas politik” yang cukup kuat, sehingga tidak sembarang kritik bisa diarahkan kepadanya tanpa konsekuensi. Ini berbeda dengan kasus-kasus lain, di mana pejabat yang kurang memiliki jaringan politik yang solid lebih mudah menjadi sasaran kritik tajam.
Bandingkan dengan kasus Miftah, seorang pejabat setingkat lebih rendah yang berani-beraninya hanya saat menghadapi sosok lemah seperti penjual teh di sebuah pasar tradisional, dalam sebuah insiden yang sempat viral. Ketegasan semu seperti ini menunjukkan betapa keberanian di birokrasi sering kali bersifat selektif—garang kepada mereka yang tak punya kuasa, tetapi tumpul ketika berhadapan dengan pejabat yang punya jaringan politik kuat seperti Bahlil.
Di negara dengan tradisi politik transaksional yang kuat, reshuffle kabinet bukan semata soal evaluasi kinerja. Lebih dari itu, reshuffle adalah kalkulasi politik yang penuh dengan pertimbangan soal loyalitas, jaringan kekuasaan, dan stabilitas pemerintahan.
Prabowo tentu paham bahwa memecat Bahlil bisa memicu turbulensi politik di internal koalisi pemerintah. Bahlil memiliki hubungan kuat dengan jaringan pengusaha dan politisi, menjadikannya bukan hanya menteri teknis, tetapi juga “aset politik” dalam menjaga harmoni di lingkar kekuasaan.
Pernyataan Prabowo tentang “pembersihan” kabinet terdengar tegas, tetapi tanpa keberanian untuk menindak tegas menteri-menteri yang jelas-jelas membuat blunder, semua itu hanyalah gimik politik. Apalagi, Prabowo sendiri adalah figur yang sangat memahami seni kompromi.
Ia adalah politisi yang mampu merangkul lawan politiknya, seperti yang ia tunjukkan saat bergabung dalam kabinet Jokowi usai Pilpres 2019. Dengan pengalaman itu, kecil kemungkinan Prabowo akan membuat langkah radikal yang bisa mengganggu keseimbangan politik yang telah ia bangun dengan susah payah.
Reshuffle kabinet yang efektif seharusnya didasarkan pada evaluasi objektif terhadap kinerja menteri, bukan semata-mata pertimbangan politik. Namun, dalam realitas politik Indonesia, evaluasi itu sering kali menjadi topeng untuk merombak susunan kekuasaan tanpa benar-benar memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Menteri yang dipecat bukan selalu yang gagal bekerja, melainkan yang gagal menjaga harmoni politik di lingkaran elit. Sebaliknya, mereka yang memiliki “aset politik” kuat sering kali tetap bertahan, meski kinerjanya dipertanyakan publik.
Publik tentu berharap Prabowo tidak terjebak dalam pola lama ini. Jika benar ingin menunjukkan ketegasan, reshuffle kabinet harus menyasar menteri-menteri yang terbukti gagal mengelola kebijakan publik dengan baik.
Bahlil, dengan segala kontroversinya, adalah contoh yang paling relevan saat ini. Namun, melihat bagaimana Prabowo membangun jaringan kekuasaan yang penuh kompromi, sulit membayangkan ia akan mengambil risiko politik sebesar itu.
Di balik semua retorika keras tentang “pembersihan kabinet”, Prabowo tampaknya lebih tertarik menjaga stabilitas politik daripada melakukan reformasi birokrasi yang sesungguhnya. Ini bisa dimaklumi, mengingat tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini sangat kompleks, mulai dari persoalan ekonomi, ketahanan energi, hingga dinamika politik internasional.
Namun, jika reshuffle hanya menjadi ajang rotasi kekuasaan tanpa perubahan signifikan dalam tata kelola, maka publik berhak meragukan komitmen Prabowo terhadap reformasi yang ia janjikan.
Pada akhirnya, reshuffle bukan hanya soal siapa yang dipecat atau dipertahankan. Ini adalah cermin dari keberanian politik seorang pemimpin. Jika Prabowo benar-benar ingin menunjukkan bahwa ia berbeda dari pendahulunya, maka reshuffle harus menjadi momentum untuk membuktikan bahwa kepentingan rakyat lebih penting daripada kalkulasi politik.
Namun, jika reshuffle hanya menjadi panggung untuk retorika kosong tanpa aksi nyata, maka kita semua tahu jawabannya: Prabowo tak akan berani pecat Bahlil.