Penantian awal Ramadan tahun ini segera menemui kepastian. Kementerian Agama (Kemenag) memastikan akan menggelar rukyatulhilal atau pemantauan hilal pada Jumat, 28 Februari 2025, di 125 titik pemantauan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, menyampaikan bahwa pemantauan ini akan melibatkan berbagai pihak terkait. Kanwil Kemenag, Kemenag Kabupaten/Kota, peradilan agama, organisasi masyarakat Islam, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan berpartisipasi dalam pengamatan ini.
“Pemantauan hilal akan dilakukan serentak di 125 lokasi di seluruh Indonesia pada 28 Februari mendatang. Data ini menjadi bahan pertimbangan sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan 1446 H,” ujar Abu Rokhmad saat ditemui di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Pemantauan hilal ini dilakukan untuk memastikan awal puasa Ramadan sesuai hasil rukyat dan hisab yang menjadi panduan umat Islam Indonesia.
Berdasarkan perhitungan astronomi (hisab), ijtimak atau konjungsi bulan diperkirakan terjadi pada 28 Februari 2025 pukul 07.44 WIB. Sore harinya, ketinggian hilal diperkirakan berada di atas ufuk, berkisar antara 3° 5,91’ hingga 4° 40,96’. Sudut elongasi hilal juga diperkirakan berkisar 4° 47,03’ hingga 6° 24,14’.
Dengan posisi tersebut, peluang terlihatnya hilal dinilai cukup terbuka. Namun, faktor cuaca dan kondisi langit di berbagai daerah tetap menjadi penentu hasil pemantauan. Jika hilal terlihat, awal puasa Ramadan diperkirakan jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Jika hilal tidak terlihat, penetapan awal Ramadan akan menggunakan metode istikmal, yaitu menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Dengan demikian, puasa akan dimulai pada Minggu, 2 Maret 2025.
“Hasil rukyat yang diperoleh akan dibahas dalam sidang isbat yang digelar pada 28 Februari 2025 di Auditorium H.M. Rasjidi, Kemenag, Jakarta. Keputusan ini nantinya akan diumumkan secara resmi oleh Menteri Agama,” kata Abu Rokhmad menambahkan.
Sidang isbat akan dihadiri berbagai pihak, di antaranya perwakilan duta besar negara sahabat, Ketua Komisi VIII DPR RI, Mahkamah Agung, Majelis Ulama Indonesia (MUI), BMKG, Badan Informasi Geospasial (BIG), BRIN, Observatorium Bosscha ITB, Planetarium Jakarta, Tim Hisab Rukyat Kemenag, serta organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
“Kami berharap hasil sidang isbat bisa menjadi pedoman bersama bagi seluruh umat Islam di Indonesia dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan,” tutur Abu Rokhmad.
Beberapa titik pemantauan hilal mencakup lokasi strategis, seperti Lhoknga dan Sabang di Aceh, Observatorium Ilmu Falak UMSU di Sumatra Utara, Bukit Langkisau di Sumatra Barat, Pantai Selat Baru Bengkalis di Riau, hingga Pantai Sunan Drajat Lamongan di Jawa Timur.
Lokasi lainnya tersebar di seluruh provinsi, termasuk wilayah timur Indonesia seperti Pantai Bahari Kolaka di Sulawesi dan Rooftop BMKG Kupang di Nusa Tenggara Timur.
Pelaksanaan rukyatulhilal ini merupakan bagian dari tradisi penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia yang menggabungkan metode hisab dan rukyat.
Perbedaan penetapan awal Ramadan antara pemerintah dan organisasi Islam seperti Muhammadiyah kerap terjadi. Muhammadiyah menggunakan metode hisab wujudul hilal, yang kadang berbeda dengan hasil rukyat. Namun, pemerintah tetap mengedepankan hasil sidang isbat sebagai keputusan resmi.
Penetapan awal Ramadan tidak hanya berdampak pada ibadah puasa, tetapi juga mengatur jadwal kegiatan keagamaan lainnya seperti tarawih dan sahur. Oleh karena itu, kepastian waktu yang jelas menjadi sangat penting bagi umat Islam.
Masyarakat diimbau untuk menunggu pengumuman resmi hasil sidang isbat agar dapat menjalankan ibadah puasa sesuai ketetapan pemerintah.
Keputusan final mengenai awal Ramadan 1446 H akan disampaikan langsung oleh Menteri Agama pada malam 28 Februari 2025 setelah sidang isbat selesai.
Menanti awal Ramadan adalah saat yang penuh harap bagi umat Islam. Semoga ketetapan ini membawa keberkahan bagi seluruh umat di Indonesia.