Suatu praktik tersembunyi terus berjalan diam-diam sejak 2009, yaitu kuota hangus. Konsumen membeli paket data 100 GB untuk 30 hari, bayar Rp150.000 hingga Rp200.000. Tapi begitu jam menunjukkan pukul 00.01 di hari ke-30, sisa kuota—bisa 20 sampai 30 GB—langsung hilang.
Tidak bisa dipakai, tidak dikembalikan, dan tidak ada kompensasi.
Pertanyaannya sederhana: ke mana perginya kuota itu? Uang kita sudah dibayarkan penuh. Nilai yang kita bayar semestinya kita nikmati sepenuhnya. Tapi kenyataannya, hak kita justru dilenyapkan tanpa alasan masuk akal.
Bukan cuma satu-dua orang yang mengalami. Jutaan pengguna merasakannya tiap bulan. Menurut beberapa pengamat, total potensi kerugian publik akibat kuota yang hangus ini bisa mencapai Rp63 miliar setiap tahun.
Dan praktik ini tidak berhenti pada soal waktu.
Kita beli paket 10 GB, tapi yang bisa dipakai bebas hanya 2 GB. Sisanya dipecah jadi kuota malam, kuota lokal, kuota aplikasi. Semua dengan batas waktu, batas lokasi, atau batas jenis aplikasi. Ada juga yang menyindir: “kuota planet Mars”—karena tak pernah terpakai.
Inilah bentuk manipulasi digital paling kasat mata.
Konsumen disodori paket data dengan tampilan besar. Tapi isinya jebakan teknis. Kita membeli “kucing dalam karung”, dibungkus promosi yang tampak canggih. Padahal nilainya tidak sepadan dengan yang kita bayar.
Secara hukum, praktik ini merusak prinsip transparansi.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengharuskan semua informasi produk disampaikan dengan jelas dan jujur. Tapi banyak operator menyembunyikan detail pembagian kuota dalam tulisan kecil, atau bahkan tidak menyebutkannya sama sekali sebelum transaksi.
Negara pun belum sungguh-sungguh hadir.
Tidak ada aturan tegas soal rollover kuota. Tidak ada kewajiban pengembalian sisa kuota. Operator bebas menentukan kebijakan, selama tidak melanggar batas teknis. Tapi justru di situ masalahnya—hak konsumen dikaburkan lewat celah teknis.
Dari sisi ekonomi, ini adalah keuntungan sepihak.
Operator tetap menerima uang penuh, meski konsumennya hanya bisa menggunakan sebagian kuota. Lebih banyak kuota yang tak terpakai, lebih besar margin keuntungannya. Tapi keuntungan ini didapat dari model yang eksploitatif.
Di sisi sosial, ini menciptakan pola konsumsi yang keliru.
Masyarakat terdorong menghabiskan kuota malam jam 01.00–05.00 hanya agar tak hangus. Atau dipaksa menonton video di aplikasi tertentu karena ada “kuota khusus aplikasi”. Bukan berdasarkan kebutuhan, tapi karena struktur paket yang memaksa.
Lalu bagaimana masyarakat bisa merasa aman di ruang digital kalau aturan mainnya tidak adil sejak awal?
Kesenjangan relasi ini harus segera diperbaiki.
Pertama, negara wajib hadir dengan regulasi yang memaksa rollover kuota. Kalau sisa kuota tidak habis, maka konsumen berhak menggunakannya di bulan berikutnya.
Kedua, pembagian kuota harus dijelaskan secara terbuka sebelum pembelian. Tak boleh ada istilah teknis yang menyembunyikan batasan penting.
Ketiga, jika rollover belum memungkinkan, maka sisa kuota harus dikompensasi. Bisa dalam bentuk diskon, tambahan masa aktif, atau pulsa. Pilihannya bisa fleksibel, asal mengembalikan nilai kepada konsumen.
Keempat, edukasi digital harus diperkuat.
Konsumen perlu paham hak-haknya. Perlu tahu cara membaca rincian paket. Dan perlu berani bersuara jika merasa dirugikan.
Keadilan digital bukan isu teknis. Ini soal relasi yang setara antara konsumen dan penyedia layanan.
Kalau negara terus diam, maka eksploitasi ini akan jadi hal biasa.
Dan ketika praktik tak adil jadi kebiasaan, maka kita tak hanya kehilangan kuota—kita kehilangan hak kita sebagai warga digital.