Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Mufti Anam, menyampaikan penolakannya terhadap kebijakan Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Keuangan yang akan memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pelaku usaha toko online, termasuk UMKM yang beroperasi di platform seperti Tokopedia dan Shopee.
Dalam pernyataannya, Mufti menyebut langkah ini menunjukkan kurangnya empati pemerintah terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang tengah terpuruk akibat ketidakpastian global dan lemahnya daya beli domestik. Menurutnya, UMKM saat ini justru membutuhkan perlindungan dan stimulus, bukan beban tambahan.
“Rakyat sedang berdarah-darah, terutama pelaku UMKM yang berjualan di online maupun offline. Persaingan usaha tidak sehat, daya beli menurun, ekonomi global juga belum pulih. Dalam situasi seperti ini, bukannya diberi nafas, malah mau ditambah beban rakyat dengan pajak lagi,” ungkap Mufti Anam di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
Ia menambahkan bahwa pelaku usaha daring selama ini telah dibebani berbagai potongan biaya dari marketplace, seperti komisi penjualan, biaya promosi, ongkos kirim, dan diskon wajib. Sehingga, pengenaan pajak tambahan dinilai akan menekan margin usaha mereka.
“Apa Pemerintah lupa bahwa pelaku UMKM di platform online sudah menghadapi berbagai potongan? Mereka dipotong komisi oleh marketplace, bayar biaya iklan agar produknya muncul di pencarian, dipotong ongkir, diskon promo, dan biaya-biaya tersembunyi lainnya,” ujarnya.
Mufti menilai rencana ini bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang mengutamakan keberpihakan kepada sektor UMKM dan masyarakat kecil. Ia pun meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengevaluasi kembali kebijakan tersebut agar selaras dengan semangat Presiden.
“Pak Prabowo selalu menekankan soal keberpihakan pada wong cilik, pada ekonomi rakyat. Tapi kebijakan Kemenkeu ini justru menusuk dari belakang semangat itu. Jangan rampok uang rakyat dengan dalih pajak, kalau negara belum memberi ruang yang adil dan mudah bagi mereka untuk bisa bertahan dan bersaing,” tegasnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, menyatakan bahwa kebijakan ini masih dalam tahap finalisasi. Ia menjelaskan bahwa mekanisme baru tersebut akan memindahkan kewajiban penyetoran PPh dari pelaku usaha ke pihak marketplace yang ditunjuk sebagai pemungut pajak.
“UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap tidak dipungut pajak. Pedagang orang pribadi dalam negeri yang beromzet sampai dengan Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenakan PPh dalam skema ini,” jelas Rosmauli, Kamis (26/6/2025).
Ia menambahkan bahwa tujuan kebijakan adalah meningkatkan keadilan dan kepatuhan pajak tanpa menambah beban atau menciptakan pajak baru. Langkah ini juga bertujuan untuk menutup celah penghindaran pajak di sektor ekonomi digital.
Namun demikian, kritik dari DPR menggarisbawahi bahwa peraturan ini berisiko semakin membebani pelaku usaha kecil jika tidak disertai insentif yang adil dan transparansi pemanfaatan dana pajak.
Mufti pun menegaskan bahwa dukungan terhadap UMKM harus konkret, bukan sekadar retorika. Ia menyarankan pemerintah untuk terlebih dahulu memastikan pelaku usaha mendapat fasilitas dan kejelasan atas kontribusi pajak yang diberikan.
“Jangan asal pajak, tanpa ada insentif, tanpa ada kejelasan. Rakyat harus tahu, kalau mereka bayar pajak, apa kemudahan dan fasilitas yang mereka dapat?” pungkasnya.
Rencana pengenaan pajak marketplace ini masih dalam pembahasan internal pemerintah. Sementara itu, tekanan dari legislatif menunjukkan adanya tantangan besar terhadap implementasi kebijakan tersebut, terutama di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional.
