September 2025 menjadi titik ujian serius. Gelombang protes yang melanda Jakarta dan berbagai daerah memperlihatkan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan dan wajah politik nasional. Di tengah kericuhan itu, muncul wacana tentang “upaya adu domba” antara Presiden Prabowo dan mantan Presiden Joko Widodo. Narasi ini datang dari Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI sekaligus putra bungsu Jokowi.
Namun, publik punya tafsir berbeda. Bagi rakyat, masalah bukanlah soal siapa mengadu domba siapa. Persoalannya jauh lebih sederhana: rakyat tidak ingin mantan presiden terlalu jauh ikut campur urusan pemerintahan yang kini sah dipimpin Prabowo Subianto. Campur tangan itu, baik berupa menitipkan orang dekat di kabinet maupun menjaga pengaruh politik melalui jaringan relawan, hanya akan mengganggu kemandirian pemerintahan baru.
Sejak awal, transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo bukan transisi yang mulus. Prabowo menang dalam Pilpres, tetapi bayang Jokowi masih terasa. Beberapa menteri warisan Jokowi dipertahankan, sebagian pejabat strategis tetap bercokol, dan sejumlah program lama diteruskan. Awalnya dianggap wajar, demi kontinuitas. Namun, belakangan terlihat jelas keberadaan “orang titipan” justru menimbulkan polemik dan memperlebar jurang ketidakpercayaan rakyat.
Masyarakat menyaksikan sendiri, beberapa menteri sibuk mengamankan citra lama ketimbang bekerja untuk visi presiden baru. Program ekonomi yang menyusahkan rakyat dibiarkan berjalan, padahal Presiden Prabowo sudah berulang kali menekankan perlunya kebijakan pro-rakyat. Rakyat menilai, ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan tanda bahwa bayang Jokowi masih mengikat.
Dalam logika politik, setiap presiden berhak menentukan siapa yang membantunya. Tidak ada larangan menaruh orang lama, asalkan kompeten dan loyal pada visi baru. Masalah muncul ketika orang lama itu justru membawa agenda sendiri, lebih tunduk pada patron lama ketimbang presiden yang sedang menjabat. Inilah yang menimbulkan keresahan rakyat, pemerintah seakan tidak sepenuhnya mandiri.
Tudingan “adu domba” hanyalah cara mengalihkan isu. Faktanya, rakyat tidak sedang membenturkan Jokowi dan Prabowo. Rakyat hanya menolak dominasi berlebihan mantan presiden yang sudah seharusnya pensiun dari panggung eksekutif. Setelah dua periode memimpin, Jokowi mestinya menjadi negarawan dengan menjaga jarak, memberi ruang bagi penerus, dan mendukung dari belakang layar tanpa intervensi.
Sayangnya, tanda-tanda itu tidak terlihat. Relawan Jokowi masih aktif membuat pernyataan politik. Beberapa mantan menteri Jokowi masih terlihat lebih sibuk melayani kepentingan lama ketimbang mendukung presiden baru. Bahkan, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang kini menjabat wakil presiden, seringkali diposisikan sebagai simbol dinasti yang menekan manuver Prabowo. Wajar bila publik semakin gerah.
Secara politik, Prabowo perlu membaca tanda zaman ini dengan cermat. Legitimasi rakyat bukan hanya ditentukan oleh hasil pemilu, tetapi juga oleh kemampuan menjauhkan diri dari bayangan masa lalu. Jika Prabowo terlalu lama menoleransi dominasi orang Jokowi, ia akan terlihat lemah. Padahal, rakyat menaruh harapan besar agar ia memimpin dengan gaya sendiri yang tegas, berdaulat, dan berpihak.
Secara hukum, tidak ada aturan yang melarang mantan presiden berkomentar atau menitipkan orangnya. Namun, secara etika politik, campur tangan berlebihan adalah bentuk pelecehan terhadap demokrasi. Pemilu adalah mekanisme suksesi yang harusnya memutus mata rantai kekuasaan personal. Jika setelah pemilu, mantan presiden tetap mengatur, maka demokrasi berubah menjadi panggung dinasti.
Secara sosial, keberlanjutan bayangan Jokowi hanya memperburuk polarisasi. Rakyat yang lelah dengan gaya kepemimpinan lama merasa tidak mendapatkan perubahan. Mereka justru menghadapi kebijakan lama yang dibungkus wajah baru. Demo yang meluas akhir Agustus adalah bukti nyata: rakyat tidak lagi sabar menunggu, mereka ingin perubahan nyata.
Rakyat bukan pion yang bisa diatur dengan narasi adu domba. Mereka punya kesadaran sendiri. Mereka tahu membedakan antara kritik tulus terhadap campur tangan Jokowi dengan upaya menghasut Prabowo. Yang mereka inginkan jelas: presiden baru harus bebas dari bayang lama, dan berani membersihkan lingkaran kekuasaan dari orang-orang yang menghambat.
Karena itu, Prabowo harus segera mengambil langkah konkret. Pertama, lakukan perombakan kabinet. Menteri atau pejabat warisan Jokowi yang gagal menunjukkan keberpihakan kepada rakyat harus dicopot. Jangan menunggu sampai mereka menimbulkan krisis lebih besar. Kedua, Prabowo harus menegaskan garis komando: semua pejabat hanya tunduk pada presiden yang sah, bukan pada patron lama.
Ketiga, hentikan pola komunikasi politik yang membuat publik bingung. Prabowo perlu menyampaikan langsung kepada rakyat bahwa ia memimpin secara independen. Bahwa tidak ada figur lain yang mengendalikan pemerintahan. Dengan begitu, isu campur tangan bisa diredam, dan legitimasi politiknya semakin kuat.
Keempat, dorong mantan presiden untuk menempuh jalur kenegarawanan sejati. Jokowi punya ruang luas untuk berkontribusi di bidang sosial, lingkungan, atau diplomasi internasional. Tetapi dalam politik praktis, sebaiknya ia menahan diri. Rakyat akan lebih menghargainya bila ia menjaga jarak, bukan malah mencampuri.
Sejarah membuktikan, banyak negara gagal karena mantan pemimpin tidak rela melepas bayangannya. Suksesi yang seharusnya jadi momentum pembaruan justru berubah jadi krisis. Indonesia tidak boleh mengulang kesalahan itu. Kita butuh stabilitas, dan stabilitas hanya mungkin jika presiden baru diberi ruang penuh untuk memimpin.
Prabowo punya pilihan jelas: tetap bertahan di bawah bayang Jokowi, atau keluar dan berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat jelas menghendaki opsi kedua. Sebab, hanya dengan mandiri, pemerintahan ini bisa benar-benar menjawab kebutuhan rakyat, bukan melanjutkan kepentingan masa lalu.
Mengakhiri bayang Jokowi bukan soal konflik pribadi. Ini soal etika, soal demokrasi, soal hak rakyat untuk mendapatkan kepemimpinan yang utuh. Dan itu hanya mungkin jika Prabowo berani mengambil langkah tegas sekarang.