Bersih-bersih kabinet Prabowo akhirnya benar-benar dimulai. Pada 8 September 2025, Presiden Prabowo Subianto resmi merombak kabinet Merah Putih dengan mengganti lima menteri sekaligus.
Keputusan ini menandai titik balik penting dalam masa pemerintahannya yang baru berjalan beberapa bulan. Figur-figur kunci yang erat dengan pemerintahan sebelumnya, seperti Sri Mulyani Indrawati dan Budi Gunawan, resmi dicopot.
Perombakan ini tidak hadir di ruang hampa. Gelombang protes nasional akibat kebijakan tunjangan rumah DPR yang memicu bentrokan hingga jatuh korban jiwa memperlihatkan betapa rapuhnya legitimasi awal pemerintahan.
Badai politik yang menyusul membuat publik menaruh perhatian serius pada langkah-langkah Prabowo berikutnya. Dengan mencopot menteri-menteri lama, pesan yang ingin disampaikan jelas: ia sedang mengukuhkan kendali penuh atas arah pemerintahan.
Namun reshuffle besar ini juga membuka bab baru. Sosok yang menggantikan para menteri lama sebagian besar adalah orang-orang yang dekat dengan lingkaran politik Prabowo.
Purbaya Yudhi Sadewa masuk menggantikan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Mukhtarudin dipercaya memimpin Kementerian Perlindungan Pekerja Migran. Ferry Juliantono menakhodai Kementerian Koperasi.
Selain itu, Kementerian Haji dan Umrah dibentuk dengan Mochamad Irfan Yusuf sebagai menteri, didampingi Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai wakil menteri.
Langkah ini menunjukkan pola klasik: konsolidasi melalui loyalitas. Dalam politik Indonesia, kesetiaan personal sering lebih penting dibanding rekam jejak teknokratis.
Kritik pun bermunculan. Sebagian kalangan menilai perombakan ini lebih berorientasi pada kepentingan politik dibanding kepentingan publik.
Apalagi, pencopotan tokoh teknokrat seperti Sri Mulyani dianggap sebagai sinyal mundurnya peran profesionalisme dalam kebijakan ekonomi nasional.
Sementara itu, isu semakin melebar ke menteri-menteri lain yang masih dianggap “warisan Jokowi”. Nama Tito Karnavian, Listyo Sigit Prabowo, Erick Thohir, hingga Luhut Binsar Panjaitan ikut disebut dalam spekulasi publik sebagai target berikutnya.
Sejumlah pengamat, termasuk dari Indonesia Political Review, bahkan terang-terangan meminta Tito diberhentikan. Alasan yang diangkat adalah kebijakan kontroversial pemindahan administrasi empat pulau ke Sumatera Utara yang dianggap rawan konflik horizontal.
Di titik inilah, bersih-bersih kabinet Prabowo tidak bisa dilepaskan dari dinamika perebutan pengaruh pasca Jokowi. Sebagian publik melihat ini sebagai upaya memutus mata rantai “Geng Solo” yang dituding masih kuat mengendalikan jalannya pemerintahan.
Akan tetapi, politik Indonesia tidak sesederhana hitam dan putih. Banyak dari figur lama masih memegang kendali di birokrasi maupun ekonomi.
Menggeser mereka bukan hanya soal tanda tangan keputusan, melainkan juga soal risiko fragmentasi politik.
Lebih pelik lagi, situasi ini terjadi ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menghadapi gugatan hukum serius terkait ijazah SMA. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sedang memeriksa perkara yang bisa mengguncang legitimasi formal Gibran.
Jika Prabowo goyah oleh manuver politik atau tekanan internal, maka Gibran otomatis menjadi penggantinya. Kombinasi reshuffle kabinet dan gugatan terhadap Wapres inilah yang menimbulkan spekulasi tentang potensi manuver kelompok lama yang tidak rela kehilangan kendali.
Dari sisi hukum, gugatan terhadap Gibran memang masih dalam tahap awal. Namun nilai tuntutan yang fantastis—Rp 125 triliun—dan narasi soal syarat pendidikan menambah dimensi dramatis pada konflik politik nasional.
Istana berusaha meredam dengan menyebut gugatan itu tidak layak ditanggapi serius. Tetapi sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa celah hukum kerap digunakan sebagai alat tawar dalam pertarungan kekuasaan.
Dalam perspektif sosial, langkah bersih-bersih ini menimbulkan rasa cemas sekaligus harapan. Di satu sisi, masyarakat menanti arah baru yang lebih bersih dari praktik lama.
Di sisi lain, publik khawatir perubahan ini hanya akan mengganti satu lingkaran kekuasaan dengan lingkaran yang lain, tanpa membawa perbaikan nyata.
Jika menteri-menteri teknokrat diganti dengan loyalis politik, maka risiko kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat justru meningkat.
Dari sisi ekonomi, pergeseran kursi di Kementerian Keuangan adalah pukulan besar. Sri Mulyani selama ini dianggap sebagai simbol stabilitas fiskal dan kredibilitas di mata internasional.
Pasar keuangan tentu akan menunggu langkah penggantinya, Purbaya Yudhi Sadewa, apakah mampu menjaga defisit dan utang negara tetap terkendali. Investor asing pun menilai stabilitas politik sebagai faktor penting.
Sehingga konsolidasi politik Prabowo akan diuji tidak hanya oleh lawan domestik, tetapi juga oleh mata global.
Dalam konteks budaya politik, fenomena ini memperlihatkan betapa rapuhnya tradisi kelembagaan di Indonesia. Sistem masih berputar di sekitar figur kuat, bukan mekanisme institusional yang mapan.
Inilah yang membuat transisi dari satu presiden ke presiden berikutnya selalu sarat intrik. Bersih-bersih kabinet Prabowo menjadi cermin bahwa demokrasi Indonesia masih diwarnai pertarungan personal antar elite, bukan pertarungan gagasan.
Apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, Prabowo harus memastikan bahwa reshuffle bukan sekadar balas budi atau pemangkasan lawan, melainkan langkah menuju pemerintahan yang lebih efektif.
Transparansi dalam pemilihan menteri sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik. Kedua, keberanian mengganti menteri harus diimbangi dengan keberanian memperkuat institusi.
Reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh jauh lebih penting ketimbang sekadar mengganti kepala kementerian.
Ketiga, Prabowo perlu mengelola hubungan dengan wakilnya, Gibran, dengan kehati-hatian tinggi. Polemik hukum harus ditangani secara adil, tanpa intervensi politik, agar tidak memperburuk krisis kepercayaan.
Pada akhirnya, bersih-bersih kabinet adalah langkah awal, bukan akhir. Keberhasilan langkah ini akan dinilai dari apakah kebijakan pemerintah menjadi lebih responsif terhadap rakyat, atau justru makin terjebak dalam kubangan politik transaksional.
Jika bersih-bersih hanya berakhir sebagai konsolidasi kelompok baru, maka publik akan kembali kecewa. Tetapi jika benar-benar dijadikan momentum untuk menata ulang arah kebijakan, maka reshuffle ini bisa menjadi fondasi bagi pemerintahan yang lebih kokoh.
Editorial ini menegaskan: konsolidasi kekuasaan memang penting, tetapi lebih penting lagi memastikan bahwa kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar alat melanggengkan kelompok tertentu.