New York – Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (12/9/2025) menandai momen bersejarah ketika 142 negara anggota mendukung Deklarasi New York yang menegaskan solusi dua negara sebagai jalan keluar konflik berkepanjangan Palestina–Israel. Keputusan ini lahir dari konferensi internasional di Markas Besar PBB yang digelar Juli lalu, diprakarsai oleh Prancis dan Arab Saudi.
Dari 193 anggota, 10 negara menolak deklarasi ini, termasuk Israel dan Amerika Serikat, sementara 12 negara memilih abstain. Dukungan mayoritas dianggap sebagai sinyal kuat dunia internasional terhadap urgensi perdamaian di Timur Tengah. Deklarasi tersebut memuat sejumlah poin penting, mulai dari gencatan senjata di Gaza, pembebasan sandera, hingga pembentukan negara Palestina yang berdaulat.
“Deklarasi New York memberikan peta jalan nyata untuk mewujudkan Solusi Dua Negara,” ujar Duta Besar Prancis untuk PBB, Jerome Bonnafont, sebelum pemungutan suara berlangsung. Ia menegaskan bahwa dokumen ini menuntut perlucutan senjata Hamas, pembaruan tata pemerintahan di Gaza, serta normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan negara-negara Arab.
Namun, penolakan keras datang dari Israel. Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menilai deklarasi tersebut tidak membawa langkah konkret menuju perdamaian. “Deklarasi sepihak ini tidak akan dikenang sebagai langkah menuju perdamaian, melainkan hanya gestur kosong lain yang melemahkan kredibilitas Majelis ini,” tegas Danon. Ia bahkan menyebut Hamas sebagai pihak yang paling diuntungkan dari dukungan internasional ini, dengan merujuk pada serangan 7 Oktober 2023.
Deklarasi New York hadir di tengah eskalasi konflik yang masih berlangsung di Gaza, dengan korban sipil yang terus bertambah dan prospek perdamaian yang semakin kabur. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menegaskan dalam pernyataan pembuka konferensi Juli lalu bahwa inti perdamaian di kawasan terletak pada implementasi solusi dua negara. “Israel dan Palestina harus bisa hidup berdampingan dalam damai, merdeka, dan aman,” kata Guterres.
Dengan mayoritas dukungan internasional, Deklarasi New York dipandang sebagai pijakan baru, meski tantangan besar masih menghadang, terutama menyangkut penerapan di lapangan. Meski ditolak sebagian pihak, dokumen ini tetap dianggap sebagai momentum penting dalam upaya membangun perdamaian berkelanjutan di Timur Tengah.