Jakarta – Rencana penyelenggaraan haji 2026 memasuki babak baru ketika Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) Indonesia menggulirkan kebijakan pemangkasan durasi tinggal jemaah di Arab Saudi. Ibarat memadatkan ritme sebuah orkestra, pemerintah berupaya menyusun kembali jadwal keberangkatan hingga kepulangan agar perjalanan spiritual para ‘Tamu Allah’ berlangsung lebih efisien namun tetap sakral.
Kebijakan ini menjawab kebutuhan akan manajemen haji yang lebih modern. Jika selama ini jemaah Indonesia menghabiskan waktu sekitar 41 hingga 42 hari di Tanah Suci, Kemenhaj menargetkan masa tinggal mulai 2026 dipersingkat menjadi 38 hingga 40 hari. Penyesuaian tersebut dirancang melalui pengelolaan slot penerbangan yang lebih ketat dan terstruktur, tanpa menambah jumlah pesawat yang berpotensi meningkatkan biaya perjalanan.
“Ada kemungkinan 38, ada kemungkinan 39, ada yang 40 hari. Kemarin kan 41 sampai 42 hari. Kita kurangi dua hari dengan cara pengaturan penerbangan yang lebih ketat,” ujar Menteri Haji dan Umrah, Gus Irfan, saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan pada Rabu (19/11/2025).
Pernyataan tersebut menandai komitmen pemerintah untuk mengurangi beban fisik jemaah terutama lansia tanpa mengurangi esensi ibadah, baik wajib maupun sunah. Pengaturan ulang jadwal keberangkatan dianggap sebagai langkah paling rasional, terutama untuk menekan waktu tunggu yang selama ini menjadi salah satu faktor lamanya masa tinggal di Mekkah atau Madinah.
Kesepakatan mengenai durasi haji sebetulnya telah dibahas sebelumnya dalam rapat antara Kemenhaj dan Komisi VIII DPR RI pada Selasa 29 November 2025. Dari forum tersebut, kedua pihak menyetujui baseline rata-rata masa tinggal jemaah pada 2026 berada di angka 41 hari. Angka inilah yang dijadikan dasar perhitungan biaya, akomodasi, hingga jumlah konsumsi jemaah di berbagai fase perjalanan haji.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, menegaskan bahwa pemangkasan waktu tidak boleh mengorbankan kualitas layanan, khususnya terkait makanan. “Menu katering untuk jemaah haji harus berbahan baku dan bercita rasa Nusantara serta melibatkan juru masak asli dari Indonesia,” ujarnya.
Penekanan itu muncul karena asupan makanan menjadi penentu stamina jemaah, terlebih menghadapi cuaca ekstrem dan aktivitas intens di lokasi-lokasi puncak ibadah seperti Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). DPR mencatat kebutuhan konsumsi meliputi 27 kali makan di Madinah, 84 kali di Mekkah, serta 15 kali selama prosesi di Armuzna.
Penyesuaian menuju durasi 38 hari disebut tetap memungkinkan selama tidak mengubah kuota penerbangan. Kemenhaj memandang reformasi manajemen transportasi sebagai kunci besar dalam mempercepat pergerakan jemaah, sekaligus menyesuaikan tuntutan zaman agar penyelenggaraan haji semakin efisien dan terukur.
Langkah ini juga memberi sinyal transformasi bahwa penyelenggaraan haji Indonesia tidak lagi terpaku pada pola masa tinggal panjang seperti sebelumnya. Pemerintah menilai masa yang lebih ringkas justru bisa mengurangi penumpukan aktivitas dan risiko kelelahan, terutama bagi jemaah usia lanjut yang jumlahnya terus meningkat tiap tahun.
Dengan berbagai persiapan teknis menyangkut maskapai dan manajemen keberangkatan, pemerintah optimistis bahwa perjalanan haji di masa mendatang akan semakin presisi, layaknya penunjuk waktu jam tangan Swiss: ringkas, tepat, dan tetap memberi ruang bagi kekhusyukan.
Pada akhirnya, pemangkasan durasi ini diharapkan menjadi bagian dari reformasi besar penyelenggaraan haji, memastikan jemaah tetap nyaman, terlayani dengan baik, dan mampu menjalankan ibadah dengan penuh ketenangan.
