Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 14 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Di Atas Hukum, Di Luar Akal Sehat

Ketika peluru menyalak dari seragam negara, hukum pun menunduk dan rakyat menjadi pelengkap penderita.
Udex MundzirUdex Mundzir28 Maret 2025 Editorial
Revisi UU Peradilan Militer Mendesak
Ilustrasi Revisi UU Peradilan Militer Mendesak
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Maraknya pelanggaran pidana oleh oknum TNI kembali menohok akal sehat publik. Penembakan bos rental mobil, pembunuhan jurnalis, hingga bentrokan bersenjata dalam urusan sabung ayam menambah daftar panjang tindakan kriminal oleh prajurit aktif. Namun, lagi-lagi, negara seolah tak memiliki kehendak politik untuk menegakkan keadilan secara setara.

Meski Undang-Undang TNI Pasal 65 ayat (2) dengan jelas menyebut bahwa prajurit aktif yang melakukan pelanggaran di luar tugas militer harus diadili di peradilan umum, kenyataannya proses hukum masih banyak diseret ke ruang-ruang militer yang tertutup. Batas antara pelanggaran tugas dan pelanggaran umum pun sengaja dikaburkan untuk menyelamatkan institusi.

Halili Hasan dari Setara Institute menegaskan, dua masalah utama dari kondisi ini adalah impunitas dan superioritas. Pertama, pelaku tidak dihukum setimpal. Korban kehilangan hak atas keadilan. Rasa takut tumbuh subur, bukan karena hukum ditegakkan, tapi karena keadilan dijauhkan. Kedua, ada anggapan bahwa militer berdiri di atas hukum sipil, menciptakan kasta hukum yang tidak sejalan dengan konstitusi demokratis.

Impunitas bukan sekadar soal tidak dihukumnya pelaku. Ia adalah simbol bahwa kekuasaan bisa berjalan tanpa batas, tanpa koreksi, dan tanpa tanggung jawab. Superioritas militer atas hukum sipil lebih mengerikan lagi—ia adalah hantu Orde Baru yang dibungkus dengan jubah legalitas baru, tapi dengan motif lama: mempertahankan kekuasaan, bukan melindungi rakyat.

Fakta bahwa pengadilan militer masih digunakan untuk kasus pembunuhan terhadap warga sipil adalah bentuk penghinaan terhadap prinsip dasar keadilan. Hukum tidak boleh mengenal seragam. Apakah karena pelakunya berpangkat, maka ia berhak diadili di tempat yang nyaman, bukan di hadapan publik yang berhak tahu?

Kasus penembakan bos rental mobil, vonis seumur hidup terhadap pelaku, serta pengungkapan keterlibatan prajurit dalam insiden kekerasan di Lampung dan Kalimantan Selatan menunjukkan pola yang berulang: kekerasan aparat tidak pernah sepenuhnya diselesaikan secara transparan. Bahkan, konfirmasi dari Polisi Militer seperti dalam kasus Banjar hanya mengisyaratkan penyelidikan internal, tanpa jaminan keterbukaan.

Di sinilah urgensi revisi UU Peradilan Militer menjadi sangat mendesak. Revisi bukan semata perkara legal formal, tetapi menyangkut arah moral bangsa. Jika kita membiarkan prajurit aktif tetap diadili oleh lembaganya sendiri dalam kasus pidana umum, maka kita mengamini bahwa negara ini berjalan dengan dua sistem hukum yang timpang.

Reformasi 1998 seharusnya telah mengubur praktik dwifungsi dan kekebalan hukum ala militerisme. Tapi kini, praktik lama itu muncul kembali dalam bentuk yang lebih rapi dan lebih diterima, hanya karena kita terlalu lelah untuk melawan. Negara kembali lupa bahwa supremasi sipil bukan sekadar slogan, melainkan fondasi dari republik.

Kita harus bertanya: berapa lagi nyawa rakyat sipil yang harus hilang sebelum hukum ditegakkan tanpa pandang bulu? Revisi UU Peradilan Militer adalah harga minimal untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum. Tanpa itu, kita hanya menciptakan tentara yang tidak tunduk pada negara, melainkan negara yang tunduk pada tentaranya.

Impunitas Militer Oknum TNI Reformasi Hukum Supremasi Sipil UU Peradilan Militer
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleMaraknya Kriminal Oknum TNI, Revisi UU Peradilan Militer Mendesak
Next Article Menag Dorong Eko-Teologi Lewat Tawur Agung di Prambanan

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Mei Ayam Bakso Solo Samarinda Seberang, Sensasi Kuah Kental dan Pentol yang Lezat

Food Alwi Ahmad

China Hadirkan Menara Penyaring Udara Setinggi 328 Kaki

Lainnya Ericka

Menjaga Privasi: Kunci Hidup Damai dan Bebas Drama

Daily Tips Assyifa

Kemenag Pantau Hilal di 125 Lokasi, Puasa Bisa Dimulai 1 Maret

Islami Assyifa

PDIP Pecat Jokowi: Dinamika Baru

Editorial Udex Mundzir
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Universitas Cipasung Tasikmalaya Cetak Guru Inovatif Lewat STEAM

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

APBD Kutim Turun Drastis, Pemkab Upayakan TPP ASN Tetap Aman

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.