Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Lepaskan Ketegangan, Raih Kedamaian

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Kamis, 23 Oktober 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Di Balik Pagar yang Menyandera Laut

Ketika hukum tunduk pada kepentingan, laut yang seharusnya bebas berubah menjadi wilayah eksklusif yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Udex MundzirUdex Mundzir31 Januari 2025 Editorial
Konflik Tata Ruang Laut dan Mafia Tanah.
Konflik Tata Ruang Laut dan Mafia Tanah (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Laut bukan sekadar hamparan air. Bagi nelayan tradisional, laut adalah sumber kehidupan, ruang terbuka yang memberi nafkah, dan warisan yang seharusnya bisa diakses oleh siapa pun. Namun, di pesisir Kabupaten Tangerang, kebebasan itu kini terhalang pagar bambu yang membentang sepanjang 30 kilometer.

Bukan untuk konservasi atau rehabilitasi ekosistem, tetapi untuk kepentingan segelintir orang yang ingin menguasai ruang laut secara ilegal. Pagar laut ini bukan sekadar deretan bambu. Ia adalah manifestasi dari ketidakadilan struktural yang telah lama bercokol di negeri ini.

Nelayan kehilangan akses melaut, kapal mereka karam menabrak rintangan yang tidak seharusnya ada, dan penghasilan mereka anjlok hingga 70 persen. Sementara itu, para penguasa lahan menikmati legitimasi hukum yang dipertanyakan, dan institusi yang seharusnya bertindak justru memilih diam.

Apa yang terjadi di Tangerang bukan sekadar ketidaksengajaan. Ini adalah hasil dari jaringan kepentingan yang saling melindungi, dari tingkat desa hingga pusat.

Investigasi mengungkap bahwa ada 263 hak guna bangunan (HGB) dan 17 sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan di wilayah yang seharusnya merupakan perairan publik. Bahkan, ditemukan nama-nama fiktif dalam daftar pemilik tambak yang dijadikan dasar klaim atas tanah.

Di tingkat desa, kepala desa disebut-sebut memasukkan nama-nama palsu sebagai pemilik tambak untuk mendukung penguasaan lahan ini. Di tingkat kabupaten, pejabat agraria tampaknya meloloskan sertifikat dengan landasan hukum yang lemah.

Di tingkat nasional, lembaga seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) saling lempar tanggung jawab. Lebih ironis lagi, lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kepolisian Airud, TNI AL, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) seolah menutup mata.

Padahal, keberadaan pagar bambu ini bukan hal yang tersembunyi—ia sangat kasat mata dan telah diketahui sejak Juli 2024. Namun, baru setelah kasus ini viral, pemerintah akhirnya bergerak. Kondisi ini menunjukkan bagaimana hukum di Indonesia masih bekerja secara reaktif, bukan proaktif.

Jika kasus ini tidak menjadi sorotan publik, apakah pagar laut itu akan tetap berdiri?

Dalam rapat dengar pendapat di DPR, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkap bahwa 50 sertifikat telah dibatalkan. Delapan pejabat pertanahan di Kabupaten Tangerang juga telah dikenai sanksi berat, mulai dari pembebasan hingga pemberhentian dari jabatan.

Namun, apakah ini cukup? Ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus dijawab.

Siapa yang memberi izin awal? Sertifikat HGB dan SHM di laut jelas melanggar hukum. Namun, hingga kini tidak ada kejelasan mengenai siapa yang pertama kali menerbitkan dokumen tersebut.

Mengapa institusi negara tidak bertindak lebih awal? Ombudsman sudah menerima laporan sejak lama, tetapi tidak ada respons yang memadai. Apakah ini bentuk kelalaian atau justru indikasi keterlibatan?

Bagaimana keterkaitan pagar laut ini dengan proyek reklamasi? Beberapa pihak mencurigai bahwa pagar laut ini bukan hanya untuk kepentingan tambak, tetapi bagian dari skema yang lebih besar: reklamasi kawasan pesisir untuk proyek elite seperti Pantai Indah Kapuk 2.

Di mana peran aparat penegak hukum? Hingga kini, belum ada satu pun pejabat tinggi yang dijerat hukum. DPR bahkan mempertanyakan mengapa investigasi yang sudah berjalan setahun oleh Bareskrim Polri tidak kunjung menemukan tersangka utama.

Jika negara memang serius ingin menindak mafia tanah dan mencegah penguasaan ilegal atas ruang laut, maka tidak cukup hanya mencabut sertifikat dan memberi sanksi administratif. Harus ada langkah hukum nyata yang menjerat pelaku utama, termasuk jika ada pejabat tinggi yang terlibat.

Kasus pagar laut ini bukan yang pertama. Di berbagai wilayah Indonesia, praktik serupa telah terjadi.

Di Batam, Kepulauan Riau, penguasaan pesisir oleh perusahaan besar telah menggusur nelayan kecil. Di Sulawesi, proyek tambak besar juga menutup akses nelayan ke laut. Bahkan di Jakarta, proyek reklamasi di Teluk Jakarta telah lama menjadi kontroversi yang menguntungkan segelintir pengusaha, sementara masyarakat pesisir tergusur.

Fenomena ini mengungkap pola besar: laut, yang seharusnya menjadi ruang publik, semakin diprivatisasi. Dengan dalih pembangunan, investor diberi ruang lebih besar untuk menguasai kawasan pesisir, sementara nelayan kecil harus berjuang mempertahankan hak mereka.

Ini bertentangan dengan prinsip keadilan ekonomi yang dijamin oleh UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun, dalam praktiknya, kebijakan yang dibuat justru lebih berpihak pada kepentingan bisnis dibandingkan masyarakat. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, pagar laut di Tangerang bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan tata kelola ruang laut di Indonesia.

Apa yang harus dilakukan untuk mencegah kasus serupa terjadi lagi? Ada beberapa langkah yang perlu segera diambil.

Audit menyeluruh terhadap seluruh sertifikat tanah di wilayah pesisir dan laut. Tidak hanya di Tangerang, tetapi di seluruh Indonesia. Sertifikat yang diterbitkan secara ilegal harus segera dibatalkan.

Memperketat regulasi pengelolaan ruang laut. Peraturan tentang zonasi laut harus ditegakkan secara ketat, dengan pengawasan yang lebih transparan.

Meningkatkan peran serta masyarakat. Nelayan dan komunitas pesisir harus diberikan ruang lebih besar dalam pengambilan keputusan terkait wilayah mereka.

Menjerat aktor intelektual di balik kasus ini. Tidak cukup hanya menghukum pejabat di tingkat bawah. Jika ada keterlibatan pejabat tinggi atau pengusaha besar, mereka juga harus bertanggung jawab secara hukum.

Negara ini tidak bisa terus-menerus membiarkan sumber daya alamnya diprivatisasi secara ilegal. Jika kasus pagar laut ini berlalu tanpa pertanggungjawaban yang jelas, maka kita hanya akan memberi sinyal kepada para pelaku bahwa kejahatan seperti ini bisa diulang tanpa konsekuensi.

Laut adalah milik semua, bukan hanya mereka yang punya kuasa. Jika hukum tidak ditegakkan, maka kita akan terus melihat laut kita berubah menjadi tembok yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara nelayan kecil dibiarkan berjuang sendirian.

Ekonomi Maritim Mafia Tanah Nelayan Tradisional Tata Ruang Laut
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleBahas Arahan Prabowo, TNI Gelar Rapat Pimpinan di Mabes TNI
Next Article Harjasda Ke-166, Sidoarjo Hebat dan Bermartabat

Informasi lainnya

Waspadai, Purbaya Anak Buah Luhut

9 September 2025

Bersih-Bersih Kabinet Prabowo Dimulai

9 September 2025

Orde Baru Jauh Lebih Baik

8 September 2025

Jokowi, Mengapa Masih Ikut Campur?

4 September 2025

Mengakhiri Bayang Jokowi

4 September 2025

Selamat Tinggal Agustus Kelabu: Tinggalkan Joget-joget di Istana

1 September 2025
Paling Sering Dibaca

Politik Sengketa, Demokrasi yang Tercederai

Editorial Udex Mundzir

Garuda Pertiwi: Semangat Tanpa Batas di Balik Trofi Perdana

Editorial Udex Mundzir

Ijazah Asli (KataPolisi), Proses Masih Abu-Abu

Editorial Udex Mundzir

Makan Siang Gratis, Solusi Nutrisi?

Opini Lina Marlina

Kenali 6 Tipe Toxic Person agar Kesehatan Mentalmu Terjaga

Daily Tips Alfi Salamah
Berita Lainnya
Kesehatan
Alfi Salamah23 Oktober 2025

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Kasus Radiasi Cikande Masuk Tahap Penyidikan, PT PMT Dianggap Lalai

Trump Resmikan Fase Dua Kesepakatan Gencatan Gaza

Menkeu Purbaya Pertimbangkan Pemangkasan PPN Tahun 2026

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.