Kasus Guru Supriyani di Konawe Selatan menjadi sorotan, tidak hanya karena vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan, tetapi juga karena polemik yang mengiringi perjalanan kasus tersebut. Supriyani, seorang guru honorer, dituduh melakukan penganiayaan terhadap muridnya yang merupakan anak seorang polisi.
Tuduhan itu berbuntut panjang hingga proses persidangan. Meski akhirnya ia dinyatakan tidak bersalah, perjalanan hukum yang dilaluinya membuka luka lama dalam dunia pendidikan: kriminalisasi guru.
Persoalan bermula dari laporan yang diajukan oleh orang tua murid, yang menuduh Supriyani memukul anaknya dengan sapu ijuk. Meski Supriyani membantah tuduhan tersebut, kasus ini tetap diproses hingga ke pengadilan.
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum menyebut bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara spontan tanpa niat jahat, sehingga unsur pidana tidak terbukti. Majelis hakim pun menyatakan Supriyani bebas dari segala dakwaan. Vonis ini disambut haru oleh Supriyani, yang selama ini mendapat dukungan besar dari rekan-rekan guru dan masyarakat.
Namun, vonis bebas ini menyisakan pertanyaan besar tentang perlindungan hukum bagi guru. Dalam menjalankan tugasnya, guru sering dihadapkan pada situasi sulit, termasuk dalam mendisiplinkan murid. Batas antara tindakan pendisiplinan yang wajar dan dianggap melanggar hukum sering kali kabur.
Situasi semacam itu membuat banyak guru khawatir, bahkan takut untuk bertindak. Kekhawatiran ini semakin nyata ketika Ketua PGRI Sulawesi Tenggara menyebut bahwa beberapa guru kini memilih menghindar dari konflik antar-murid, khawatir akan berakhir dalam tuduhan pidana.
Kasus ini bukan yang pertama. Pada tahun 2013, seorang guru di Majalengka bernama Aop Saopudin juga menghadapi dakwaan serupa karena memotong rambut gondrong muridnya. Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung membebaskan Aop dan menegaskan bahwa tindakan pendisiplinan dalam batas wajar tidak dapat dipidanakan.
Namun, pemahaman hukum ini sering kali tidak diindahkan. Proses hukum tetap berlangsung, menguras tenaga, waktu, dan emosi guru yang terlibat.
Situasi ini memperlihatkan pentingnya regulasi yang lebih tegas untuk melindungi profesi guru. Pemerintah perlu merancang undang-undang perlindungan guru yang memberikan batasan jelas antara tindakan pendisiplinan dengan kekerasan.
Regulasi ini harus memastikan bahwa konflik antara guru dan murid diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme internal sekolah. Melibatkan kepolisian atau pengadilan hanya boleh menjadi langkah terakhir jika mediasi gagal dilakukan.
Selain itu, pendekatan keadilan restoratif perlu menjadi prioritas. Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 sebenarnya telah memberikan ruang untuk penyelesaian konflik melalui mediasi.
Dalam kasus Supriyani, aparat kepolisian menyatakan telah mencoba mempertemukan kedua belah pihak, tetapi upaya tersebut gagal. Padahal, pendekatan ini lebih efektif dalam menjaga hubungan baik antara guru, murid, dan orang tua.
Dukungan masyarakat juga sangat penting untuk menjaga martabat profesi guru. Kasus Supriyani mendapat banyak perhatian publik, termasuk dari rekan-rekannya sesama guru dan organisasi profesi seperti PGRI.
Solidaritas itu perlu terus dijaga untuk melindungi guru dari ancaman kriminalisasi. Orang tua juga perlu memahami bahwa tindakan pendisiplinan guru memiliki tujuan untuk mendidik, bukan bentuk kekerasan.
Vonis bebas Supriyani memang menjadi akhir dari perjalanan hukum yang melelahkan, tetapi itu belum cukup untuk mengatasi akar permasalahan. Profesi guru membutuhkan perlindungan hukum yang lebih kuat agar tidak terjebak dalam kriminalisasi serupa di masa depan.
Jika tidak ada langkah konkret yang diambil, kasus-kasus seperti ini akan terus terjadi, mengancam kualitas pendidikan di Indonesia. Pada akhirnya, pendidikan yang bermutu hanya dapat tercapai jika para pendidik merasa aman dan dihormati dalam menjalankan tugasnya.